#under_header{ margin:10px 0; padding:1%; width:98%; }

Benvenuto

Selamat datang bagi yang nyasar, tersesat, atau memang sengaja masuk ke Ruang Vita. Ruang ini memang berantakan, gelap, dan tidak mempesona, tapi semoga berkenan menyusurinya....

Kamis, 10 Desember 2009

Wangimu Membelitku

3 Tahun sudah berlalu sejak kita bertemu untuk terakhir kalinya. Aku ingat benar, saat itu sore hari, aku masih memakai baju kantorku. Kamu menungguku di sebuah restoran di pusat Jakarta. Wajah dan bajumu sedikit basah. Rupanya kau juga kehujanan. Kamu mendongak saat aku menyapamu. Seperti biasa, kamu pun melemparkan senyum. Senyum. Ya, kamu nggak pernah kehabisan stok senyum.

“Bulan depan aku ke Perancis. Akhirnya aku dapat beasiswa itu,” ujarmu.

“Oya? Selamat ya. Jadi kamu akan tinggal di Perancis untuk berapa lama?” tanyaku.

“18 Bulan. Kalau aku dapat suami orang Perancis, mungkin bakal jarang pulang ke Indonesia ha ha,” katamu terbahak.

Aku tersenyum getir. Begitu mudah kamu mengucapkan kata-kata itu. Aku menatapmu, membayangkan betapa sepinya dunia ini tanpa kamu di dekatku.

“Kenapa?” tanyamu.

“Aku pasti kehilangan kamu.”

“Ya, mungkin seperti kehilangan yang aku rasakan waktu kamu memutuskan menikah,” ucapmu dengan mata berkaca-kaca. Ini pertama kalinya aku mendengar dia begitu emosi dengan pernikahanku.

“Maksudmu?”

“Tanpa kukatakan kamu pasti juga tahu bagaimana perasaanku padamu. Kamu juga tahu kan, aku menangis dengan wajah tertawa saat kamu bilang akan menikah dengan perempuan lain. Aku sakit. Aku sakit sejak pertama mengenalmu. Aku sakit sejak mengizinkanmu menjadi bagian dari hari-hariku.”

“Dan kamu juga tahu kan bagaimana perasaanku padamu? Tapi ada hal yang tidak mampu menyatukan kita. Lalu aku bisa apa? Aku juga merasakan sakit yang sama. Toh kita berdua tidak punya keberanian untuk menghancurkan barikade di depan kita, iya kan?”

Kamu diam. Aku diam. Hanya suara hujan yang terdengar. Aku menatapmu yang asyik memainkan tissue. Aah aku pasti akan merindukan suaramu yang selalu ceria, gelak tawamu, juga wangi parfummu. Aku hafal benar apa merek parfummu, karena aku pernah menemanimu membelinya di sebuah counter parfum.

Kamu mendongak. Ada guratan luka mendalam di wajahmu. Luka yang selama ini kamu sembunyikan. Ada lelah menyimpan cinta terlarang. Kau tahu, ekspresimu itu semakin membuatku sakit.

“Ya, dari awal kita memang sudah tahu tidak akan pernah bisa bersama. Terima kasih buat hari-hari indah yang kamu beri. Mulai sekarang, kita fokus pada jalan kita masing-masing ya.”

Kamu berdiri dan menghampiriku. Kamu memelukku. Wangi parfum yang sudah akrab di hidungku itu membelitku. Inikah pelukan terakhirmu?

***

Suatu sore, 5 bulan sejak kepergianmu ke Perancis, tiba-tiba aku mencium wangimu. Aku terbelit dalam romantisme masa lalu. Sosokmu kembali hadir mengisi seluruh rongga dalam pikiranku. Dengan nanar aku mencarimu. Bus yang tengah kunaiki ini tidak terlalu penuh. Aku pasti akan mudah menemukanmu. Tapi kamu tidak ada. Hanya wangimu.

Bodohnya aku. Tentu bukan kamu saja yang memakai parfum itu. Pasti ada ratusan dan bahkan ribuan perempuan yang memakai parfum itu. Tapi bagiku, kamulah ikon parfum buatan Negeri Sepatu itu.

Sekarang, detik ini, saat aku memikirkanmu, apakah kau juga sedang memikirkanku? Apakah namaku masih memenuhi hati dan pikiranmu? Aku tidak pernah kuasa menghilangkanmu meski sudah ada perempuan lain yang setiap hari setia mendampingiku. Jahat. Mungkin itulah aku yang sebenarnya.

***

Malam itu, aku sedang berada di toko buku yang biasa aku dan kamu datangi. Aku sedang asyik membaca buku biografi, ketika tiba-tiba wangimu menyapaku. Jantungku berdegup kencang. Apakah kamu ada di sini?

Aku menutup buku yang sedang kubaca, dan berjalan dari rak yang satu ke rak yang lain. Aku mencarimu. Tapi sosok kamu tidak juga kutemukan. Tentu saja tidak mungkin kamu pulang ke Indonesia. Kamu kan baru 8 bulan di Perancis. Kamu bilang, kamu tidak akan pulang sebelum pendidikanmu selesai.

Aku berdiri di sebelah rak novel. Beberapa waktu lalu, kamu pernah bersandar di rak ini sambil membaca novel karya pengarang idolamu. Aku bahkan yakin, sidik jarimu masih menempel di novel dan rak ini. Rindu ini kian menyayatku. Sekuat tenaga aku melupakanmu, tapi bayangmu justru semakin kuat melekat.

Samar-samar wangimu kucium lagi. Wangi yang begitu kusukai. Wangi yang membuatku tersenyum sekaligus menggoreskan luka di tempat yang sama. Wangi yang membelit menit-menit hidupku. Wangi yang tak kuasa aku lepaskan.

***

Setelah itu, wangimu masih kerap menyapa hidungku. Belitannya pun tak pernah menjadi longgar meski banyak hal terjadi dalam hidupku. Meski telah lahir seorang gadis kecil dalam hidupku yang memanggilku Papa. Gadis kecil yang kunamai sama dengan namamu. Obsesi gila. Pasti itulah komentarmu kalau tahu apa yang kulakukan untuk selalu menghidupkanmu dalam hidupku.

Suatu kali, ketika aku melewati tukang ramal di kawasan Monas, lagi-lagi wangimu melewatiku. Seakan hendak mengingatkanku kita pernah menjajal kemampuan tukang ramal itu. Kata si tukang ramal, kalau kita menikah, it would be last forever. Sekarang aku cuma tersenyum pahit. Nyatanya kita tidak pernah menikah.

E-mail yang kukirimkan padamu tidak pernah kau balas. Bahkan kamu tidak pernah update info di situs jejaring sosial. Puluhan ribu kali kuketik namamu di layanan mesin pencari, tapi sosokmu di dunia maya pun seakan raib. Seolah kau ingin menghilang, menghapus semua jejakmu. Bahkan teman-temanmu tidak tahu bagaimana kabarmu. Seberapa hebatkah Perancis hingga mampu membuat dirimu melupakan tapak-tapak kakimu sendiri yang pernah kau buat di waktumu yang lalu.

Kupikir sangat tidak adil. Aku tidak bisa melepaskanmu. Pengkhianatanku pada istri dan anakku ini terus kupelihara. Tapi bagaimana denganmu? Di satu sudut bumi ini, mungkin kamu sudah memiliki seorang pangeran yang menggantikan tahtaku di hatimu. Aku benci pada diriku yang tidak pernah kuasa menghapusmu dengan semua bayanganmu.

Angin berhembus. Wangimu kembali tercium. Wangi itu membelit dan bahkan mencekikku. Saat ini sudah lebih dari 18 bulan sejak kepergianmu ke Perancis. Mungkinkah kamu pulang? Mungkinkah kamu menyapaku? Kutunggu hingga 60 menit berlalu. Tak kudengar juga suaramu. Wangimu pun sudah menguap.

***

Sore itu aku berbelanja di supermarket. Sendiri. Istriku tidak enak badan, sementara barang kebuthan rumah tangga sudah hampir habis. Aku melihat catatan belanja, tissue menjadi salah satu barang yang harus kubeli. Aku berjongkok, mencari merek yang dipesan istriku. Tiba-tiba aku mencium wangi parfummu lagi. Wangi yang begitu kusuka. Wangi yang begitu kurindukan. Wangi itu begitu kuat tercium, tidak seperti sebelumnya.

“Pluk.” Tiba-tiba sekotak tissue jatuh di kepalaku. Aku mendongak. Seraut wajah yang begitu kukenal ada di depan mataku. Dialah perempuan yang tidak pernah hilang dari hatiku. Perempuan yang menjatuhkan tissue di kepalaku adalah kamu. Kulitmu lebih terang dan lebih berseri dari terakhir kita ketemu. Tapi itu benar-benar kamu.

Kamu terkejut ketika mata kita bertemu pandang. Aku berdiri dan menyebut namamu. Kamu pun balas menyebut namaku. Aku merasa waktu berputar, kembali ke masa kamu selalu ada di sampingku.

“Apa kabar?” kamu mengulurkan tangan mengajakku bersalaman.

“Baik. Kamu juga kan?”

“Ya, aku baik.”

“Mmm, kupikir kita nggak akan ketemu lagi. Kamu nggak balas e-mail aku, jadi aku nggak tahu kabar kamu sama sekali.”

“Maaf, aku buat alamat e-mail baru, jadi yang lama nggak pernah aku buka lagi.”

“It’s okay. Sekarang kamu di Jakarta lagi? Sudah berapa lama?”

Kamu tersenyum melihat aku begitu bersemangat memberimu pertanyaan.

“Aku hanya liburan. Baru tiga hari di sini. Mmm, sudah lama juga ya kita nggak ketemu. Hampir tiga tahun ya.”

“Tepatnya 33 bulan lebih satu minggu,” ucapku tanpa sadar.

“Wah, kamu menghitung ya. Sejak kapan kamu suka matematika,” candamu.

Aku hanya tersenyum. Wajahmu memerah melihatku tersenyum.

“Kamu sendiri? Mana istri kamu?” tanyamu sambil melirik ke arah keranjang belanjaku.

“Oh dia sedang tidak enak badan. Kamu sendiri juga?”

“Suami dan anakku menunggu di food court.”

Tahukah kamu, kalimatmu bagaikan petir di siang bolong. Aku tahu tidak akan pernah bisa memilikimu, tapi tetap saja mendengarmu sudah berkeluarga membuatku sakit.

“Kamu sudah menikah?” tanyaku lambat-lambat.

“Ya, seperti kamu,” jawabmu sambil membuang muka. Ah, luka itu masih jelas terlihat dari parasmu.

“Seperti apa dia?” tanyaku sambil tetap menatapmu lekat-lekat.

“Siapa?”

“Suami kamu.”

“Dia laki-laki sederhana yang baik. Kami sama-sama ambil master di Perancis. Kami sama-sama jauh dari rumah dan keluarga. Kami sama-sama tidak bisa mendapatkan orang yang dicintai. Kami lulus bersama, lalu kami sama-sama mendapat pekerjaan di Perancis. Dan dari situ semua berawal.”

“Kamu mencintainya?”

“Ya. Aku bahagia hidup dengannya.”

“Aku senang mendengarnya,” kataku dengan suara bergetar.

“Kamu juga bahagia kan?”

“Seharusnya aku bahagia. Tapi ada rasa sakit yang tidak pernah bisa sembuh. Aku tidak pernah bisa melupakan seseorang dari masa laluku. Terkadang aku merasa sangat bersalah pada keluargaku, tapi waktu dan jarak tidak pernah mampu menghapus bayang-bayang itu.”

“Waktu akan membantu kamu melupakan dia. Ini hanya romantisme masa lalu yang akan terkubur waktu, cepat atau lambat. Kita harus menerima kenyataan. Apa yang kita jalani sekarang kan keputusan kita. Jadi jangan menyakiti orang yang menyayangi kita hanya karena kita menyesali keputusan yang sudah telanjur dibuat.”

“Ya, kamu benar. Mmm anak kamu berapa umurnya? Anakku sudah 19 bulan.” Aku mengambil hape hendak memperlihatkan foto anakku padamu.

“Baru 6 bulan. Ini fotonya.”

Aku dan kamu saling memperlihatkan foto anak kita. “Namanya Bella.” “Namanya Neo.” Kita berbarengan menyebut nama anak kita.

Astaga, kamu pun memberi nama anakmu dengan namaku. Wajahmu sama kagetnya denganku waktu kamu mendengar namamu juga menjadi nama anakku.

“Mmm, lusa aku kembali ke Paris. Aku sudah membuat seorang Neo menjadi bagian dari hidupku. Kamu pun sudah membuat seorang Bella menjadi bagian hidupmu juga. Jadi, sekarang jangan terlalu sering menengok ke belakang ya,” ujarmu sambil berlalu. Sosokmu menghilang di balik rak makanan kecil. Hanya wangimu yang tertinggal. Wangi yang membelitku. Tapi kini aku berupaya untuk melepaskan diri dari belitan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar