#under_header{ margin:10px 0; padding:1%; width:98%; }

Benvenuto

Selamat datang bagi yang nyasar, tersesat, atau memang sengaja masuk ke Ruang Vita. Ruang ini memang berantakan, gelap, dan tidak mempesona, tapi semoga berkenan menyusurinya....

Minggu, 13 Desember 2009

The Role of Australian in Regional Security Development of South Pacific

How do you see the role of Australian in regional security development of South Pacific? Do you agree that Australia is playing a hegemonic role in multilateralism in the region? Describe your arguments in a comprehensive way.

To analyze hegemonic role of Australia in multilateralism security in the region, we can use level of security matrix according to the presence and the capacity to defend against them.[1]

                                                                                   Presence of external security threats

High
Low

Capacity to Defend Against Them
 
High

Balance of Power
Deterrence
(Cold War or Cold Peace)

Hegemony
Emergence of Non-traditional Security Agenda
Low

Small states faced by major rivals:
Insecurity and vulnerability

War peace among democracies
Isolated small states

The presence of external security threats is low, but Australia has high capacity to defend against them. Insecurity problems happen in all regions in the world include in South Pacific. More or less it will give impact to Australia.
The manufacture, trafficking and consumption of illicit drugs are significant security challenges for Pacific island countries. South Pacific has long been a transshipment point for the flow of various illicit drugs such as cocaine, heroin and amphetamine-type stimulants between suppliers in Central and South America and South East Asia and distributors in Australia, New Zealand and North America.[2] That problem becomes a consistent threat to the Australian community. Based on that, Australia through its Attorney-General’s Department is helping to focus attention on these issues through the South Pacific Precursor Control Forum.

Australia also supplied patrol boats for the Pacific Island countries as a response of the increasing the number transnational crime which use the marine area. The project involves not just the boat, but training for the crews, naval advisers posted to each recipient country, and through life logistic and technical support. For most countries, Australia provides additional funds to cover some of the cost operating.

On July 1, 2003, PM of Australia John Howard declared that since rogue and failed states too often become a base for terrorists and transnational criminals, Australia should take remedial action and take it now. Furthermore hegemony of Australia appears in some internal conflict in Pacific Island countries.

When Solomon Island knocked down ethnic conflict which furthermore flourished to armed conflict, Australia together with other countries sent 2000 police and army personnel. It was the biggest military operation in South Pacific region since World War II. Another example, when coup d’état happened in Fiji in 2006, Australia also sent police. Intervention of Australia getting bigger after two senior police officers took over the leadership of Fiji’s police.

Australia has high capacity to defend against the security threats. Australia is the richest country in South Pacific. Based on data from IMF, GDP Australia in 2008 is US$ 1,010,699, 000, 000 and positioned in rank 14th.[3] In the contrary, based on data from CIA World Factbook in 2007 most of Pacific Island countries positioned in the lowest rank.[4] It is because they depend their economy to the donor.

Australia military power is one of the greater. The Australian Defence Force seeks to be a high-technology force and the number of weapon and armed vehicles are appropriate. Some vehicles which belonging to Australia are: 59 M1A1 Abrams main battle tanks, 700 M113 APC, and 71 F/A-18 Hornet fighters.[5] Australia allocates A$ 22 billion to the Australian Defence Organisation in the 2007–2008.[6] This level of expenditure is equivalent to approximately 2.0% of Australian GDP. This strength make Australia have stronger hegemony.






[1] Perwita, Anak Agung, Lecture material of Security in Asia Pacific for Defence Management ITB 2008/2009
[2] Attorney-General’s Department and Australian Custom Service, Inquiry into the Main Economic and Security Challenges Facing Papua New Guinea and the Island States of the Southwest Pacific, http://www.aph.gov.au/senate/Committee/fadt_ctte/swpacific/submissions/sub40.pdf, accessed on May 27 2009.
[3] Report for Selected Countries and Subjects, http://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2009/01/weodata/weorept.aspx?sy=2007&ey=2008&sic=1&sort=country&ds, accessed on May 28, 2009.
[4] Field Listing - GDP (official exchange rate), https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/fields/2195.html, accessed on May 28, 2009.
[5] Half of Super Hornets shipment to be Made Electronic Warfare Ready, http://www.theaustralian.news.com.au/story/0,25197,25114315-31477,00.html, accessed on May 28, 2009.
[6] Portfolio Budget Statements 2007-08, http://www.defence.gov.au/budget/07-08/pbs/index.htm, accessed on May 28, 2009.

Strategi Menyiasati Liberalisasi Perdagangan: Membangun Ekonomi Indonesia dari Desa

Penulis: Nurvita Indarini dan Ria Permana Sari
Karya tulis untuk lomba karya tulis mahasiswa (2004)


Abstrak
Liberalisasi perdagangan merupakan proses yang tidak bisa dielakkan oleh semua negara bangsa. Berkaitan dengan hal ini perlu dipikirkan bagaimana strategi membangun perekonomian Indonesia sehingga dapat bersaing dengan negara lain. Salah satu caranya adalah dengan membangun ekonomi desa untuk menuju kemandirian desa, ketahanan pangan dan pemerataan pembangunan.


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
            Globalisasi merupakan suatu proses yang tidak dapat dihindari oleh satu negara pun di dunia. Dalam proses ini, batas-batas negara luluh (borderless) dengan salah satu cirinya adalah adanya persaingan bebas. Persaingan bebas menyebabkan hanya negara-negara yang memiliki daya saing saja yang bisa mengambil keuntungan. Daya saing dapat diperoleh dengan mengembangkan sektor yang menjadi keunggulan komparatif suatu negara. Indonesia sebagai negara agraris, maka keunggulan komparatifnya terletak pada sektor pertanian.
            Berbicara mengenai pertanian, tidak lepas dari desa sebab desa identik dengan pertanian. Itu bisa dilihat dari pemandangan umum desa yang didominasi sektor pertanian, perkebunan, perikanan maupun peternakan. Desa sebagai wilayah geografis terkecil, dalam perkembangannya tidak lepas dari unsur eksploitasi. Ini diawali dari praktek tanam paksa 1830 yang dilakukan oleh kolonial Belanda. Hingga pada masa kemerdekaan, desa selalu menjadi bagian sub-ordinat dari pemerintah pusat. Hal ini terlihat dari pembangunan yang bias urabn (kota) yang akhirnya menyebabkan terkonsentrasinya pendidikan, akses ekonomi, politik, sosial, dan budaya di pusat kota. Pola pembangunan yang lebih berorientasi pada industri menyebabkan sektor desa dan tradisional tidak tergarap sehingga menyebabkan adanya kesenjangan antara desa dengan kota yang memicu arus urbanisasi.
            Hal ini sangat kontras, mengingat desa merupakan penyuplai bahan logistik bagi masyarakat desa, dan juga menjadi basis massa bagi partai politik saat Pemilihan Umum (Pemilu).[1]  Selain itu, lebih dari 50% penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Berdasarkan Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995, 64,09% penduduk Indonesia tinggal di desa.[2] Berkaitan dengan liberalisasi perdagangan, sektor pertanian menjadi sektor yang sensitive. Ini terbukti dari gagalnya KTM WTO Cancun, di mana ada perdebatan antara negara maju dengan negara berkembang mengenai liberalisasi pertanian dan penurunan tarif.
            Bertolak dari hal tersebut, desa seharusnya tidak dimarginalkan. Kesadaran akan hal ini terlihat dari adanya otonomi daerah di mana di dalamnya terdapat substansi adanya otonomi desa. Walau begitu tentu saja terdapat kekurangan-kekurangan UU ini untuk menjadikan desa sebagai bagian dari pembangunan nasional.

B. Rumusan Masalah
            Bredasarkan latar belakang di atas, maka diajukan pertanyaan: “Bagaimana strategi pembangunan ekonomi Indonesia dari desa sehingga Indonesia mampu memperkuat daya saing dalam sistem ekonomi yang liberal?”

C. Asumsi Dasar
            Pembangunan ekonomi Indonesia dari desa akan mencapai sasaran apabila otonomi daerah dapat berjalan dengan baik, sehingga memperlancar usaha menuju ketahanan pangan, kemandirian unit ekonomi desa dan pemerataan pembangunan.

D. Tujuan Penelitian
·         Mengetahui bagaiman strategi yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk memperkuat daya saing dalam sistem ekonomi yang liberal melalui pembangunan ekonomi Indonesia dari desa.

E. Manfaat Penelitian
·         Membuka kesadaran untuk memperkuat ekonomi kerakyatan dengan pemberdayaan desa
·         Membuka kesadaran bahwa desa dapat menjadi leading sector dalam pemulihan ekonomi Indonesia

E. Kerangka Pemikiran
            Pembangunan ekonomi selama ini diartikan sebagai kemampuan ekonomi nasional untuk menaikkan GNP (Gross National Product). Namun menurut Todaro (1997), keberhasilan ekonomi ditunjukkan oleh 3 nilai pokok, yaitu berkembangnya kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, meningkatkan harga diri masyarakat sebagai manusia, dan meningkatnya kemampuan masyarakat dalam memilih.[3] Berkaitan dengan pembangunan ekonomi tersebut Lincolin Arsyad (1999), menegaskan bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang saling terkait dan mempengaruhi antar faktor sehingga terwujud peningkatan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, serta peningkatan pendapatan per kapita.[4]
            Dalam upaya melaksanakan pembangunan ekonomi yang dihadapkan pada terbukanya kompetisi global, Adi Sasono berpendapat perlunya pembangunan ekonomi jaringan dalam bentuk pembangunan pos-pos madani yang terintegrasikan yang merupakan bentuk pengemabangan kekuatan ekonomi rakyat, sehingga dapat mengimbangi adanya pemusatan kekuatan.[5] Ekonomi jaringan ini berarti adanya gerakan pembaharuan masyarakat yang diharapkan dapat menciptakan tata ekonomi yang seimbang dan adil. Oleh karena itu, perlu adanya pemberdayaan perusahaan-perusahaan kecil di daerah dan koperasi masyarakat, sehingga masyarakat terdorong untuk mengembangkan kegiatan ekonomi. Ini berarti terciptanya mekanisme ekonomi kerakyatan, yaitu sektor ekonomi yang berisi kegiatan-kegiatan ekonomi rakyat di mana usaha-usaha ekonomi yang dilakukan oleh rakyat berperan integral dalam perekonomian nasional. Dalam mekanisme ini pemerintah hanya menjadi pelindung masyarakat bawah dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkannya.
            Pembangunan ekonomi Indonesia selama Orde Baru dapat dikatakan sangat terpusat, di mana sektor ekonomi sangat diperhatikan dan sedikit melupakan sektor-sektor lain. Segala kebijakan diatur oleh pusat dengan prinsip homogenitas. Pembanguan ekonomi semacam ini menjadikan masyarakat kehilangan potensi produktifnya serta terdesaknya sentra-sentra produksi lokal.
            Gerakan reformasi 1998, telah menimbulkan kesadaran perlunya otonomi daerah, di mana daerah diberi kewenangan dalam menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Ini menandakan berakhirnya kebijakan sentralistik, serta dimulainya gerakan pembaharuan rakyat. Dari sini terdapat momentum dari rakyat untuk menyelenggarakan ekonomi kerakyatan yaitu dengan lebih terbukanya kesempatan bagi sentra-sentra lokal (desa) untuk lebih mengembangkan potensinya. Terkait dengan ekonomi jaringan yang mengindikasikan adanya ekonomi kerakyatan, maka hal ini dapat dimulai dari desa. Ini disebakan karena pembangunan desa selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Akibat dari hal itu, ditambah lagi dengan kebijkan yang snetralistik membuat desa menjadi kurang mandiri, dan bahkan kurang mendapat kesempatan untuk berkreasi dan mengembangkan potensinya.
            Melalui pembangunan desa diharapkan ketahan pangan Indonesia dapat tercipta, sebab tidak ada satu negara pun yang dapat melanjutkan pembangunan ekonominya tanpa ada jaminan ketahan pangan. Menurut John Mellor, kaitan antara rumah tangga dan pasar dalam mewujudkan ketahan pangan, dan kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan adalah produktivitas dari pertanian domestik.[6] Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan penggunaan tekhnologi pertanian, seperti penyediaan varietas unggul, mesin-mesin pertanian, pengetahuan tekhnik bertani yang baik, dan management skill. Tercapainya ketahanan pangan yang tercermin dari kemampuan pemenuhan pangan, permintaan akan barang-barang industri domestik, penyediaan bahan baku industri dan pemanfaatan tekhnologi dan alat-alat dari luar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dalam negeri. Untuk meningkatkan keuntungan dari pertanian, bisa dilakukan melalui produktivitas yang tinggi dan juga pertumbuhan upah para pekerja di sektor export manufacturing. Ini memungkinkan untuk didirikannya industri-industri desayang mengolah hasil pertanian menjadi produk-produk konsumsi domestik untuk selanjutnya menjadi komoditas ekspor, sehingga akan mendorong para petani dan industri kecil untuk berkreasi.
            Dalam pelaksanaannya, pos-pos madani yang merupakan unit ekonomi masyarakat yang mandiri harus mampu memberdayakan potensi yang dilmiliki oleh daerah dengan partisipasi aktif rakyat dengan tujuan mengutamakan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya akan tercipta kerjasama saling menguntungkan antara daerah satu dengan daerah lain. Misalnya Kampung Laut di daerah Cilacap yang memiliki produk pertanian berupa hasil laut, bekerja sama dengan koperasi di daerah lain dalam penyaluran hasil produksinya. Namun hal ini tidak bisa terwujud tanpa adanya pembangunan infrastruktur dan juga peningkatan kualitas masyarakat.

F. Metodologi
            Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif-eksplanatif, yaitu dengan menggambarkan bagaimana kondisi pembanguan ekonomi Indonesia, khususnya di desa selama ini. Serta menjelaskan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ekonomi desa sehingga dapat menjadi modal dalam menghadapi globalisasi. Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian library research, yaitu dengan menggunakan literatur-literatur yang mendukung.



PEMBAHASAN

A. Liberalisasi Ekonomi Global dan Dampaknya Bagi Indonesia
            Memburuknya tatanan ekonomi global dan krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menerpa beberapa kawasan di dunia termasuk negara-negara berkembang di Asia Tenggara telah memperbesar keinginan untuk mencari alternatif bentuk dan tatanan perekonomian yang lebih berkeadilan dan lebih mampu melindungi kalangan masyarakat kelas marginal dengan melihat potensi sumber daya lokal. Bagi Indonesia, liberalisasi sudah dimulai pada tahun 1980an, dengan diadopsinya kebijakan-kebijakan neo-liberal. Hal ini tercermin dari keterikatan Indonesia pada Badan-badan keuangan dunia, seperti IGGI, Bank Dunia, dan IMF. Pada tahun 1983, pemerintah meberlakukan deregulasi perbankan yang diikuti dengan deregulasi rupiah.
            Kondisi tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang pada saat itu lebih menekankan pada pengejaran pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri yang memprioritaskan pembangunan perkotaan. Namun sayangnya, pembangunan ekonomi Indonesia yang didasarkan pada industrialisasi tidak didukung oleh sumber daya domestik, di mana sebagian besar merupakan hasil impor dari negara maju serta investasi yang diperoleh dari hutang.[7] Ini menyebabkan ekonomi Indonesia menjadi rentan terhadap krisis, akibatnya saat terjadi krisis ekonomi 1997, perekonomian Indonesia benar-benar terpuruk. Krisis tersebut membawa dampak yang buruk bagi masyarakat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah. Krisis ini selanjutnya diikuti dengan krisis multidimensi, di mana banyak memunculkan kerusuhan sosial, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, hingga jatuhnya nama Indonesia di mata internasional.
            Krisis ekonomi telah menjadikan hutang Indonesia meningkat, karena nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami penurunan. Untuk menstabilkan perekonomian, pemerintah mengambil kebijakan untuk meminta bantuan kepada IMF. Dampaknya IMF dengan kebijakan-kebijakannya yang tertuang dalam SAP (Structural Adjustment Program) terlihat sangat mencampuri kebijakan pemrintah. Ironisnya, kebijakan yang diambil tersebut cebderung merugikan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.
            Imbas krisis ekonomi ini terhadap sektor industri terlihat dari banyaknya perusahaan yang bangkrut dan capital flight yang menyebabkan jumlah ekspor menurun. Walaupun kemudian terjadi kenaikan ekspor, namun kuantitasnya tidak mampu melebihi kuatitas sebelum krisis terjadi. Di samping itu, terpuruknya sektor industri menyebabkan pengangguran meningkat, yang berarti terjadi peningkatan jumlah masyarakat miskin. Ini tentu saja membawa dampak buruk bagi Indonesia, karena di saat yang sama Indonesia harus menghadapi pasar bebas yang merupakan konsekuensi dari tata ekonomi dunia yang semakin liberal. Namun ternyata di tengah keterpurukan sektor industri, pertanian dan usaha kecil menengah menjadi sektor yang mampu bertahan.
            Bertolak dari hal itu, bukan suatu hal yang aneh apabila sektor-sektor ini yang diharapkan mampu meningkatkan perekonomian Indonesia untuk selanjutnya bersaing dalam kompetisi global. Selain itu sebagian besar masyarakat Indonesia berada dalam sektor tersebut. Meningkatnya sektor tersebut diharapkan dapat menjadi backbone bangkitnya sektor ekonomi riil Indonesia. Sebelumnya pertanian telah menjadi focus pembangunan nasional. Puncak keberhasilannya terlihat saat Indonesia mampu berswasembada beras pada tahun 1984, setelah sebelumnya menjadi negara pengimpor beras. Keberhasilan ini tidak lepas dari proyek Revolusi Hijau yang sanggup menjadikan pertanian sebagai primadona. Revolusi hijau yang lahir pada tahun 1960an telah memaksa petani untuk melakukan rasionalisasi produksi Karena harus mendapatkan input produksi melalui pasar. Akibatnya pertanian diorientasikan pada ekspor. Hasil panen yang bagus diekspor, sementara yang kurang bagus untuk konsumsi dalam negeri. Akibat yang lain adalah tata hubungan kerja agraris yang memberikan posisi yang lebih kuat pada petani menengah ke atas.
            Karena pembangunan yang lebih diarahkan pada sektor industri, maka pembangunan sektor pedesaan menjadi tidak tergarap. Akibatnya terjadi kesenjangan desa-kota, sehingga arus urbanisasi meningkat. Urbanisasi menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran Karen aketerbatasan lapangan pekerjaan. Lebih jauh lagi akan menyebabkan slum area di daerah perkotaan. Bagi desa, urbanisasi berarti hilangnya tenaga kerja produktif untuk menggarap sektor pertania. Hal ini masih diperburuk dengan menipisnya lahan pertanian akibat pemukiman dan ekspansi industri.

B. Transformasi Pembangunan Ekonomi Desa
            Pembangunan di masa Orde Baru cenderung menganggap petani sebagai objek. Hal ini terlihat dari harga produksi pertanian (khususnya beras) yang dikendalikan oleh pemerintah pada nilai tukar yang relatif rendah, maka pendapatan petani tidak mengalami peningkatan yang signifikan dan bahkan merugi sebagai akibat ketidakseimbangan harga jual padi dengan biaya produksi.
            Pembangunan yang dilakukan pemerintahb Orde Baru cenderung sentralistik. Ini merupakan konsekuensi dari strategi mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi, sehingga mengesampingkan dimensi-dimensi lain yang seharusnya diperhatikan. Ekonomi Indonesia saat itu memang berkembang, karena GNP pertahun mengalami kenaikan. Namun pendekatan yang sentralistik dan produksi massal telah mengakibatkan terpusatnya kekuasaan pada segelintir konglomerat. Pendekatan ekonomi sentralistik berbasis peranan modal besar dan sektor modern telah menghisap buruh dan menciptakan monopoli dan keseragaman produk serta gaya hidup. Akibatnya yang terjadi adalah pergeseran dari masyarakat produktif menjadi masyarakat konsumtif.
            Diterapkannya UU Otonomi Daerah No. 22/ 1999 menimbulkan implikasi yang cukup besar di tingkat lokal. Yang pertama berkaitan dengan perubahan tata hubungan desa dan supra desa (pemerintah kabupaten/ kota, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat). Yang kedua menyentuh perubahan dalam tata hubungan antar lembaga dan kekuatan di desa.[8] Dalam UU ini, berbagai kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat masih sangat luas, ini bisa dilihat dari pasal 7 UU No. 22/ 1999:
(1)    Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, pengadilan, moneter dan fiscal, agama, serta kewenangan di bidang yang lain
(2)    Fungsi bidang lain, sebagaimana disebut dalam ayat (1) meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional secara mikro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga ekonomi negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta tekhnologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Sementara itu, strategi pembangunan nasional Indonesia ada dalam Trilogi Pembangunan, yang mana prioritas pembangunan senantiasa disempurnakan sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan masyarakat. Pada Pelita I, stabilitas ekonomi menjadi prioritas utama dengan memperhatikan aspirasi dan kesiapan masyarakat. Karena itu, maka prioritas pembangunan berangsur diarahkan menjadi pertumbuhan, lalu menjadi aspek pemerataan. Dalam prioritas pemerataan pembangunan, kebijakan pembangunan masih diarahkan pada peran aktif masyarakat sebagai penggerak, dan penyelenggara otonomi daerah.[9]
Tidak berlebihan jika sasaran utama kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat adalah desa, mengingat masyarakat berpendapatan rendah banyak tinggal di desa, penduduk miskin juga tinggal di desa.[10] Maka otonomi daerah diharapkan mampu melakukan pembangunan pedesaan tertinggal untuk meingkatkan kualitas kehidupan yang makin maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Siklus kegiatan ekonomi dalam aspek mikro yang berkembang di desa dan kecamatanm diharapkan berlangsung berkesinambungan, berintegrasi dan saling berkait dengan aspek makro di tingkat yang lebih tinggi, sehingga dapat tercipta keterpaduan kegiatan ekonomi secara keseluruhan melalui proses pembangunan dari bawah ke atas dan arus atas ke bawah.  Maka dari itu akan terhadi keterpaduan dan keterkaitan kegiatan ekonomi mulai dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten. Kotamadya, kecamatan, desa, dan tingkat individu.
Apabila UU No. 22/ 1999 dijalankan sebagaimana mestinya, maka ini akan menjadi langkah awal penguatan demokrasi dan ekonomi Indonesia. Sebelumnya pemerintah kurang melakukan pembangunan berbasis pada pertanian, kehutanan, kelautan, dan perikanan. Meski begitu bukan suatu kesalahan menjadikan sektor tersebut sebagai sektor unggulan, mengingat di saat sektor-sektor lain mengalami pertumbuhan minus, hanya sektor tersebut yang pertambahanya positif. Pada tahun 1999, tercatat pertambahan sektor tersebut mencapai 2,1%, sementara keuangan dan jasa perbankan minus 0,1%, perdagangan, hotel dan restoran minus 0.4%, dan bangunan minus 1,6%.[11]
Perhatian yang serius pada sektor pertanian yang sebagian besar ada di desa akan menguatkan kondisi pangan Indonesia. Ini akan menjadikan negara ini mandiri, tanpa harus mengimpor bahan pangan. Tahun 2001, Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor bahan pangan terbesar setelah Rusia, yang mencapai Rp. 11 triliun. Di mana impor beras mencapai 500.000 ton, hagung 1,2 juta ton, dan gandum 3,5 juta ton. Ini mengindikasikan telah terjadi jebakan pangan terhadap Indonesia.[12] Sangat ironis, sebab Indonesia dikenal sebagai negara agraris dan subur justu harus mengahbiskan uangnya untuk belanja bahan makanan impor. Semangat untuk menempatkan pertanian di sektor berbasis sumber daya alam sebagai motor penggerak perekonomian memang sempat terdengar, namun inkonsistensi kebijakan terhadap sektor-sektor itu terus terjadi.

C. Strategi Ekonomi Desa
            Tak bisa disangkal lagi, bahwa desa memiliki peran penting dalam pembangunan, oleh karena itu perlu dilakukan serangkaian upaya untuk membangun desa yang selama ini terpingirkan khususnya dalam hal ekonomi, sehingga dapat lebih siap dalam menghadapi globalisasi. Strategi pembangunan ekonomi desa antara lain dapat dilakukan dengan:

1.      Local Capacity Building
Yaitu peningkatan kapasitas masyarakat lokal sebagai usaha pemberdayaan masyarakat. Usaha ini berintikan pemberian akses dan peningkatan ekonomi rakyat melalui pengembangan ekonomi rakyat. Usaha ini meliputi pengembangan ekonomi melalui subsidi sebagai modal usaha untuk mengembangkan ekonomi produktif serta diberikannya kredit lunak langsung dan dana bantuan. Jadi kebijakan pemerintah harus selalu memihak rakyat, seperti kelacaran distribusi pupuk dengan harga yang tidak memberatkan petani, pemberian bantuan kepada petani yang gagal panen dan konsistensi kebijakan harga.
Dalam hal pemberdayaan masyarakat, peningkatan SDM masyarakat desa sangat penting karena pendidikan di desa tidak sebaik di kota, serta kurangnya arus informasi. Karenanya diperlukan peningkatan kemampuan masyarakat dalam proses pembangunan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan daya saing. Ini dapat dilakukan dengan cara penyuluhan, bimbingan dan latihan. Hal tersebut dapat diupayakan oleh pemerintah juga Lembaga Swadaya Masyarakat, Ormas, dan kaum intelek. Pemberdayaan masyarakt ini sangat penting artinya dalam upaya menuju masyarakat desa yang melek informasi yang selanjutnya menjadi pondasi terciptanya civil society di tingkat bawah.
Kemudian perlu dikembangkan pelembagaan pembangunan masyarakat dan aparat yang merupakan upaya meningkatkan kemampuan kelembagaan aparat di tingkat kecamatan dan desa agar proses alih informasi/ tekhnologi, penyaluran dana/ investasi, proses produksi/ pemasaran, pengelolaan pembangunan dapat terlembaga dengan baik sesuai dengan kondisi lokal sehingga dapat mencapai sasaran.[13]

2. Modernisasi Industri Pedesaan
Pengembangan sistem informasi juga tidak bisa dilepaskan dalam upaya modernisasi pertanian di desa. Pengembangan ini menyangkut peningkatan kemampuan dan pemantauan, pengendalian dan pelaporan pelaksanaan berbasis system informasi geografis, agar dapat diketahui perkembangan pelaksaan secara tepat arah, tepat sasaran dan tepat tujuan. Dengan adanya sistem informasi geografi, maka dapat diperoleh informasi valid berkaitan dengan produksi pertanian, sehingga produksi yang dihasilkan dalan setiap aktivitas pertanian bisa selalu siap berkompetisi dengan produk serupa dari wilayah lain. Di samping itu, sistem ini juga mampu memberikan data akurat mengenai pergerakan produk-produk pertanian di pasar nasional dan internasional, dinamika cuaca dalam musim produksi, distribusi serangan hama penyakit yang terkait dengan produk yang diusahakan. Oleh karena itu, maka hasil maksimal dari sektor pertanian bisa diperoleh.[14]
Selain itu perlu dilakukan pengembangan budidaya bahan baku, pengolahan dan pemasaran industri lokal serta penelitian oleh berbaai institusi sebagaimana halnya di negara-negara maju. Hasil peneitian ini selanjutnya dapat dikembangkan dan diaplikasikan pada usaha kecil dan pertanian sehingga dapat meningkatkan kualitas produk. Yang lebih penting lagi, penelitian yang dilakukan di daerah sendiri menjadikan hasilnya cocok dengan lingkungan tersebut serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.

3. Pembangunan Infrastruktur
            pembangunan fisik selama ini selalu diorientasikan di kota, sehingga perlu dikembangkan pembangunan infrastruktur desa yang tidak kalah dengan kota. Infrastruktur ini antara lain: jalan raya, telepon, listrik, pendidikan (dengan memperhatikan pula suprastruktur pendidikan sehingga bisa menghasilkan SDM berkualitas), internet, jaringan irigasi, dan fasilitas pemasaran seperti pelabuhan. Yang perlu diingat, pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan berkelanjutan, karena pembangunan ini bersifat jangka panjang.
            Infrastruktur ini sangat penting dalam peningkatan pemasaran hasil-hasil pertanian dan industri lokal dalam tingkat regional, nasional, bahkan internasional. Selain itu perlu dikembangkan pula integrasi transportasi dengan daerah lain sehingga dapat memperlacar penyaluran hasil-hasil produksi.
4. Pengembangan Agribisnis
            setelah ketahan pangan tercapai, di mana kebutuhan pangan dalam negeri terpenuhi tanpa harus mengimpor, pertanian selanjutnya diarahkan pada agribisnis. Ini dimaksudkan agar pertanian dapat memberi dampak positf dan signifikan dalam peningkatan lapangan pekerjaan, devisa negara dan pertumbuhan ekonomi.[15] Agribisnis merupakan pertanian yang organisasi dan manajemennya dirancang secara professional dan rasional untuk mendapatkan nilai tambah yang maksimal dengan menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan permintaan pasar.[16]
Nilai tambah desa dapat dikembangkan dengan adanya koperasi agribisnis yang merupakan organisasi bisnis petani. Mekanisme ini difokuskan pada komoditas tertentu yang menajdi core business sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif masing-masing daerah. Hal ini kemudian dilanjutkan pada inovasi yang mendukung ekonomi berbasis iptek sehingga produk-produk agribisnis yang dihasilkan akan bergeser dari produk yang bersifat unskilled and natural resources intensive ke produk skilled labour and capital intensive kemudian produk skilled labour and knowledge intensive.[17] Dalam pelaksanaan agribisnis ini, meskipun pertanian menjadi sektor komersial, namun harus tetap memperhatikan kualitas produk baik untuk konsumsi sendiri ataupun sebagai produk ekspor. Ini penting agar ketahanan pangan tetap terjamin dan produk tetap bisa bersaing dalam tataran domestik atau luar negeri.

PENUTUP
            Di era persaingan bebas sebagai ciri dari globalisasi, menghasilkan konsekuensi membanjirnya produk-produk luar ke pasar domestik. Ini menyebabkan adanya ketergantungan negara-negara berkembang terhadap negara-negara industri maju. Akibatnya, terdapat kesan hanya negara-negara maju saja yang diuntungkan dalam proses ini. Situasi ini banyak dilihat sebagai bentuk baru dari imperialisme dan kolonialisme.
            Untuk keluar dari kondisi tersebut, maka diperlukan komitmen dan upaya serius untuk membenahi diri, sehingga mampu meningkatkan kekuatan nasional dan menaikkan posisi tawar bangsa Indonesia di kancah internasional. Salah satu caranya adalah dengan melakukan pembangunan ekonomi dari desa, dengan asumsi bahwa desa merupakan penyangga kota dan selama ini pembangunan yang dilakukan kurang memperhatikan desa. Krisis ekonomi yang turut menyebabkan keterpurukan sektor industri yang bisa dilihat dari hengkangnya perusahaan dan investor asing, meningkatnya jumlah pengangguran, kriminalitas, menimbulkan kembali wacana untuk membangun pertanian dan potensi SDAlainya.
            Adanya otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 22/ 1999, terlepas dari segala kekurangannya telah memberi harapan pada daerah-daerah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, termasuk desa di dalamnya. Pembangunan ekonomi dari desa dapat dilakukan dengan mempersempit kesenjagan pembangunan antar daerah, terutama di desa-desa terpencil, keberpihakan pemerintah pada rakyat yang tertuang dalam kebijakan yang adil dan aspiratif. Adanya pembangunan desa diharapkan dapat menciptakan ketahanan pangan dan pemberdayaan masyarakat lokal sebagai modal untuk survive di era globalisasi. Untuk itu perlu adanya kerjasama antara pemerintah, swasta,dan rakyat yang harmonis demi kesejahteraan bersama.

  

DAFTAR PUSTAKA
“Agriculture and Pro-Poor Growth in the Contest of the PRSP Process: Comments by Peter Timmer”, dalam http://www.inweb18.worldbank.org/eap/eap.nsf/Attachments/Timmer2/$File/timmer.doc, diakses pada 11 Februari 2004

Buku Panduan Jogja Book Fair28 September-6 Oktober 2002

Dwipayana, AAGN ARI, et al., Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta, IRE, 2003

Juliatara, Dadang (ed), Arus Bawah Demokrasi: Otonomi dan Pemberdayaan Desa, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2000

Kompas, 7 Oktober 2001

_______, 3 Desember 2001

Siar Demokrasi, Edisi 4, 2003, Forum LSM DIY

Usman Widodo, et al., Pembangunan Pertanian dan Otonomi Daerah, Yogyakarta, LP2KP Pustaka Karya, 2000
















Lampiran
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Indonesia
1999-2002
(dalam ribuan orang)
Tahun
1999
2000
2001
2002
Pertumbuhan Rata-rata pertahun
Kota
15.643
12.312
8.599
13.319
1,15
Desa
32.332
26.431
26.268
25.075
-7,28
Total
47.975
38.743
37.867
38.394
-6,70
Sumber: Litbang Kompas, diolah dari BPS 2003 dalam Kompas, 9 Februari 2004



[1] Pembarua Desa dengan Strategi 3 Kaki, Siar Demokrasi, Edisi 4, 2003, Forum LSM DIY, hal 22
[2] Kegemilangan Yogykarta Sebagai Kota Kerakyatan dan Kemanusiaan, ibid, hal 10
[3] Tuhana Taufiq Andrianto, “Buku dan Pembangunan Ekonomi” dalam Buku Panduan Jogja Book Fair 28 September-6 Oktober 2002, hal 12-3
[4] Loc cit
[5] Adi Sasono, ”Menegakkan Martabat Bangsa”, dalam ibid, hal 20-1
[6] “Agriculture and Pro-Poor Growth in the Contest of the PRSP Process: Comments by Peter Timmer”, dalam http://www.inweb18.worldbank.org/eap/eap.nsf/Attachments/Timmer2/$File/timmer.doc, diakses pada 11 Februari 2004
[7] Masyhuri, “Beberapa Pandangan Tentang Konsep Pembangunan Pertanian Masa Depan”, dalam Widodo Usman, et al., Pembangunan Pertanian dan Otonomi Daerah, Yogykarta, LP2KP Pustaka Karya, 2000, hal 36-7
[8] AAGN. Ari Dwipayana, et al., Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta, IRE, hal iv
[9] Gunawan Sumodiniongrat, “Pembaharuan Struktur Sosial Desa Sebagai Syarat Kemajuan Desa: Kecamatan Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Daerah”, dalam Dadang Juliantara (ed), Arus Bawah Demokrasi: Otonomi dan Pemberdayaan Desa, Yogyakarta, Lapera Pustaka Utama, 2000, hal 103
[10] Lihat di lampiran
[11] “Pertanian, Ketangguhan Yang Terabaikan”, Kompas, 7 Oktober 2001
[12] Ibid
[13] Gunawan Sumodiningrat, op.cit, hal 113
[14] Abdul Rozaq, Konsep Pembangunan Pertanian Holistik”, dalam Widodo Usman et al., op. cit, hal 33
[15] Saragih dalam Abdul Razaq, op.cit, hal 29-30
[16] Gunawan Sumodinigrat, op cit, hal 120
[17] Sri Sultan Hamengkubuono X, “Kebijakan Pembangunan Pertanian dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam Widodo Usman et al., op.cit, hal 122

Produksi, Konsumsi, Distribusi, dan Ekonomi Kerakyatan


Dalam ilmu ekonomi terdapat tiga konsep utama yakni, produksi, konsumsi, dan distribusi. Ketiga konsep itu bukan merupakan sesuatu yang baru. Karena secara akademis, ketiga konsep itu selalu melekat pada kurikulum setiap jenis dan jenjang sekolah.  Selain itu dalam kehidupan sehari-hari ketiga hal itu merupakan inti dari kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan.

1. Produksi
1.1. Pengertian dan Ruang Lingkup
Produksi adalah setiap kegiatan yang ditujukan untuk menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian yang lebih luas, produksi didefinisikan sebagai setiap tindakan yang ditujukan untuk menciptakan atau menambah ‘nilai’ guna suatu barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian, tidak semua kegiatan/ proses produksi adalah berupa perubahan bentuk suatu barang.
Nilai barang dan jasa tersebut dibedakan menjadi:
·         Nilai penggunaan subjektif atau guna ialah kesanggupan barang jasa untuk memuaskan kebutuhan manusia.
·         Nilai penggunaan objektif yaitu arti yang diberikan seseorang kepada suatu barang atau jasa tertentu untuk memuaskan kebutuhannya.
Untuk menciptakan dan atau menambah nilai guna suatu barang dapat ditempuh melalui:
1. Mengubah suatu bentuk barang menjadi barang baru (kegunaan bentuk/ form utility).
2. Memindahkan suatu barang dari suatu tempat ke tempat lain (kegunaan tempat/ place utility).
3. Mengatur waktu penggunaan suatu barang (kegunaan waktu/time utility).
4. Menciptakan suatu jasa (kegunaan jasa/ service utility).

Barang-barang yang dihasilkan dalam suatu proses produksi dapat dibedakan menjadi:
·         Barang konsumsi, yakni barang-barang yang langsung dapat memuaskan pemakai (konsumen)
·         Barang produksi, yakni barang-barang yang sengaja diproduksi untuk proses produksi selanjutnya atau untuk menghasilkan barang-barang lain.
Perbedaan antara barang produksi dan konsumsi tidak selalu jelas. Hal itu dikarenakan pada kondisi tertentu suatu barang dapat dapat digolongkan sebagai barang konsumsi, tetapi di saat lain justru digolongkan sebagai barang produksi.

1.2. Faktor Produksi
Barang dan jasa akan terus mengalir, namun untuk memenuhi kebutuhan akan kedua hal itu akan selalu mempunyai batas. Hal ini dikarenakan proses produksi memerlukan sumber-sumber ekonomi, dan dari sebagian sumber-sumber ekonomi yang tersedia selalu terbatas jumlahnya.
Mansfield mengungkapkan, …, sumber daya adalah materi/ bahan atau jasa yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang atau jasa-jasa yang dapat digunakan untuk memuaskan berbagai keinginan manusia… Seluruh sumber daya yang keberadaannya langka disebut sebagai sumber daya ekonomi… Tidak peduli sekaya apapun suatu masyarakat, dia tetap saja memiliki keterbatasan jumlah sumber dayanya.
Menurut Melotte dan Moore, sumber daya ekonomi merupakan sumber-sumber atau faktor-faktor produksi yang bersifat langka yang digunakan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan seoptimal mungkin.
John Jacson dan Campbell R. McConnell mengelompokkan faktor produksi ke dalam empat kategori: land, capital, labour, dan entrepreneurial ability atau enterprise.
1. Land (Sumber Daya Alam)
Jacson dan McConnell berpendapat, land atau alam berkaitan dengan seluruh sumber daya yang bersifat alami –semua yang sudah tersedia di bumi yang dapat digunakan dalam proses produksi.
Tanah, air, matahari, hutan, mineral, dan minyak bumi termasuk primary factor (faktor utama) bagi produksi di samping tenaga kerja. Seluruh sumber daya alam merupakan faktor produksi asli karena sudah tersedia dengan sendirinya tanpa harus diminta oleh manusia.
2. Capital (Modal)
Jackson dan McConnell menyatakan, modal atau barang-barang investasi berkaitan dengan keselutuhan bahan dan alat yang dilibatkan dalam proses produksi seperti alat (perkakas), mesin, perlengkapan, pabrik, gudang, pengangkutan, dan fasilitas distribusi yang digunakan memproduksi barang dan jasa bagi konsumen akhir.
Mansfield berpendapat senada, kapital berhubungan dengan bangunan, peralatan, persediaan, dan sumber daya produksi lainnya yang memberikan kontribusi pada aktivitas produksi, pemasaran, dan pendistribusian barang-barang.
Modal tidak hanya terbatas pada uang tetapi lebih mengarah pada keseluruhan kolektivitas atau akumulasi barang-barang modal yang oleh Jackson dan McConnell disebut sebagai investasi. Investasi hanya bisa terwujud jika ada tabungan masyarakat. Kegiatan ini akan sangat sulit dilakukan bila tingkat pendapatan masyarakat rendah.
3. Labour (Tenaga Kerja)
Menurut Spencer, tenaga kerja merupakan istilah yang luas yang digunakan para ahli ekonomi yang menunjuk pada bakat mental yang dimiliki laki-laki maupun perempuan yang dapat digunakan untuk memproduksi barang dan jasa.
Ahli ekonomi Marxisme, Mao Ze Dong, memandang tenaga kerja dalam proses produksi merupakan unsur yang paling mendasar. Pengetahuan yang dimiliki seseorang akan banyak bergantung pada aktivitas yang dilakukan orang tersebut dalam proses produksi. Singkatnya, keterlibatan dalam produksi merupakan sumber utama pengetahuan seseorang.
Karya seseorang di dalam produksi merupakan kegiatan praktis yang paling mendasar. Dunia pekerjaan menjadi sumber utama dalam pengembangan pengetahuan seseorang. Secara naluriah manusia perlu bekerja dan secara fisik maupun mental, di usia tertentu mereka sanggup dan siap bekerja. Namun kenyataannya tidak semua angkatan kerja dapat atau terlibat dalam kegiatan produksi karena lapangan kerja yang terbatas.
Di Indonesia sejak terjadi krisis moneter pada Juli 1997 yang kemudian disusul dengan krisis ekonomi berkepanjangan menyebabkan angka pengangguran meningkat. Apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia belum sanggup menyerap jumlah tenaga kerja yang signifikan. Hal ini diperparah dengan adanya urbanisasi prematur.
Menurut Prebisch, pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang antara perkotaan dan pedesaan telah menimbulkan urbanisasi prematur yang terjadi bersamaan dengan deformasi struktural. Karenanya tenaga kerja yang pindah ke perkotaan dan mengalami proses pertumbuhan tinggi tidak dapat ditamoung secara berarti dalam proses produksi.
Sebagai salah satu faktor produksi, tenaga kerja dapat digolongkan:
·         Tenaga kerja terdidik (skilled labour), yaitu golongan tenaga kerja yang telah mengikuti jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
·         Tenaga kerja terlatih (trained labour), yaitu golongan tenaga kerja yang telah mengikuti pelatihan dan memiliki pengalaman tertentu.
·         Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih (unskilled labour), yaitu golongan tenaga kerja yang menangani pekerjaan yang tidak memiliki keahlian khusus.
4. Entrepreneurial ability (kewirausahaan)
Wirausaha walaupun sama-sama merupakan human resources seperti labour, namun  dalam pembahasan faktor produksi dipisahkan karena dalam diri seorang wirausaha terdapat seperangkat bakat.
Jackson dan McConnell menyatakan:
·         Seorang wirausaha mengambil inisiatif mengkombinasikan sumber daya alam, modal, dan tenaga kerja untuk memproduksi barang dan jasa, baik dalam perannya sebagai pembakar semangat karyawan atau sebagai katalisator.
·         Seorang wirausaha memiliki pekerjaan membuat keputusaan-keputusan yang berkenaan dengan kebijakan dasar usaha, yakni keputusan tidak rutin yang menjadi acuan jalannya bisnis perusahaan.
·         Seorang wirausaha merupakan inovator, berupaya mengenalkan dasar-dasar bisnis sebuah produk baru, teknik-teknik produk baru, bahkan format baru organisasi perusahaan.
·         Seorang wirausaha haruslah berani menanggung risiko. Risikonya bukan hanya waktu, usaha, dan reputasi bisnisnya, tetapi juga investasi dana dan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan pemegang saham.
Sejumlah karakteristik wirausaha menurut para ahli antara lain: berani menanggung risiko, memiliki kekuasaan dan kewibawaan, memiliki hasrat untuk bertanggung jawab, memiliki kekuasaan dan kewibawan, memiliki inovasi dan inisitif, mampu memperhitungjan risiko dan kebutuhan berprestasi, mampu mengendalikan diri, memiliki rasa percaya diri dan berorientasi pada pencapaian sasaran, menyukai tantangan, serta berorientasi pada pertumbuhan, independen dan memiliki keterampilan teknik.

1.3. Fungsi Produksi
Fungsi produksi merupakan suatu fungsi atau persamaan yang menunjukkan sifat perkaitan antara faktor-faktor produksi dengan tingkat produksi yang diciptakan. Faktor produksi juga dikenal dengan istilah input dan output.
Rumus fungsi produksi: Q = f (L, C, R, S)
Q = tingkat produksi yang dihasilkan (output)
L = tenaga kerja
C = jumlah modal
R = kekayaan alam
S = kewirausahaan

Atau Q = f (x1, x2, x3 …, xn)
Q                                 = Jumlah output yang dihasilkan
x1, x2, x3 …, xn            = Faktor-faktor produksi (input) yang digunakan

Dalam faktor produksi dikenal the law of diminishing return (hukum hasil yang semakin berkurang) yang menjelaskan sifat pokok dari pertautan di antara tingkat produksi dan tenaga kerja yang digunakan. Bila suatu macam input ditambah penggunaannya sedangkan input-input lainnya tetap, maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan tadi mula-mula naik, tapi setelah mencapai suatu tingkat tertentu tambahan output akan semakin menurun bila input tersebut terus ditambah.
Rumus produk rata-rata (AP) = TP
                                                L
AP = Produk rata-rata (Average product)
L   = Tenaga kerja (labour)
TP = Produk keseluruhan (Total product)


2. Distribusi dan Konsumsi

A. Distribusi

Distribusi merupakan setiap tindakan atau usaha yang dilakukan baik oleh orang atau lembaga yang ditujukan untuk menyalurkan barang-barang dan jasa-jasa dari produsen ke konsumen. Produsen perlu memikirkan saluran yang bagaimana yang akan dipilih untuk menyalurkan barang dan jasanya dengan tepat dan biaya murah.

A. 1 Membangun Saluran Distribusi

Secara ekonomi, kegiatan distribusi secara ekonomi merupakan suatu upaya untuk memberikan kegunaan waktu dan tempat. Dalam memutuskan saluran distribusi biasanya melibatkan:

·         Jumlah pedagang perantara yang akan dilibatkan
·         Bagaimana memelihara saluran-saluran komunikasai antara berbagai tingkat dari pedagang perantara
·         Seleksi pedagang perantara yang khusus
·         Penempatan menurut letak geografis dari persediaan barang
·         Lokasi dari pusat-pusat distribusi

A.2 Jenis-jenis Saluran Distribusi
Menurut Vernon dan Jackson, berdasarkan intensitasnya, jenis saluran distribusi dapat dibagi dalam 3 jenis:
·         Bentuk intensif, merupakan jenis saluran yang memanfaatkan banyak pedagang besar dan kecil
·         Bentuk selektif, hanya memanfaatkan beberapa grosir dan sejumlah kecil pengecer (retailer).
·         Bentuk eksklusif, hanya melibatkan satu perantara dalam lingkungan masyarakat tertentu untuk menangani produk.

A.3 Saluran Distribusi (Distribution Channel)
a.       Distribusi langsung dari produsen ke konsumen

Perpindahan atau pergerakan material dilakukan secara langsung dari produsen ke konsumen. Contohnya adalah peternak mengirimkan susu ternaknya langsung ke rumah konsumen atau melalui toko pengecer miliknya sendiri dan melalui pos.

b.  Saluran tidak langsung

·         Produsen – pengecer – konsumen  
Contoh barang yang didistribusikan dengan cara semacam ini adalah alat-alat rumah tangga, furniture, dan alat-alat sekolah. Terkadang produsen membuat gudang-gudang cabang untuk memenuhi permintaan produk di daerah lain.
·         Produsen – grosir  – pengecer
Barang yang disitribusikan dengan cara ini adalah yang tahan lama dan mudah didapatkan seperti barang yang terbuat dari logam, obat-obatan, dan bahan makanan.

A.4 Lembaga-lembaga Distribusi
a. Wholesaler (grosir)
Merupakan pedagang perantara yang membeli barang dagangan untuk dijual kembali terutama kepada pengusaha lain dan bukan kepada konsumen. Fungsi utamanya adalah mengumpulkan dan menyebarkan.
b. Agen
Merupakan pedagang perantara yang tidak membeli dan memiliki barangbyang mereka jual. Fungsi utamanya adalah melakukan penjualan bagi produsen. Agen biasanya dibayar dengan komisi berdasarkan volume penjualannya.
c. Retailer (pedagang eceran)
Merupakan perusahaan yang membeli barang-barang dari produsen atau dari grosir kemudian menjualnya kepada konsumen. Lembaga yang berniaga secara eceran antara lain:
·         Toserba (Department store)
Merupakan lembaga pemasaran eceran yang menjual berbagai jenis barang yang dikelompokkan ke dalam departemen-departemen (bagian).
·         Supermarket (Pasar swalayan)
Merupakan toko yang sangat besar terutama menjual bahan pangan dengan harga-harga rendah. Setiap konsumen bekerja atas dasar melayani sendiri, dan pembayaran dilakukan secara kontan.
·         Toko khusus
Toko yang strategi pemasarannya dengan menawarkan pilihan yang banyak dari barang-barang yang sejenis. Toko semacam ini banyak dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan. Contoh toko khusus: toko perhiasan, toko mainan, dan toko sepatu.


B. Konsumsi
B.1 Pengertian Konsumsi

Konsumsi merupakan tindakan pemenuhan kebutuhan atau tindakan menghabiskan dan atau mengurangi nilai guna suatu barang atau jasa.

Jenis kebutuhan manusia:
·         Kebutuhan biologis untuk hidup
·         Kebutuhan yang timbul dari budaya peradaban dan kebudayaan manusia itu sendiri
·         Kebutuhan lain yang khas menurut masing-masing perorangan

B.2 Perilaku Konsumen
Dugaan-dugaan ilmu ekonomi yang dijadikan dasar pembahasan perilaku konsumen:
·         Pendapatan konsumen tetap
·         Barang-barang pemuas kebutuhan adanya terbatas
·         Konsumen dengan pendapatan terbatas menghadapi suatu kenyataan bahwa harga barang-barang tidak pada titik nol
·         Setiap orang mengetahui preferensi kebutuhannya dengan baik
·         Konsumen dapat berperilaku rasional dalam melakukan konsumsinya
·         Selera konsumen tetap
Perilaku konsumen sejalan dengan hukum permintaan yang berbunyi: Bila harga suatu barang naik maka jumlah barang yang diminta konsumen terhadap barang tersebut akan turun, sebaliknya bila harga barang tersebut turun maka jumlah barang yang diminta akan naik.
Hukum tersebut berlaku bila syarat-syarat terpenuhi (cateris paribus). Dalam mempelajari perilaku konsumen dapat dilakukan melalui:
a. Pendekatan marginal utility (pendekatan cardinal)
Kepuasan bisa dinyatakan dengan angka-angka dan satuan ukuran kepuasannya adalah utility (nilai guna). Ada dua konsep nilai guna, yakni:
·         Nilai guna total, merupakan jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dari mengkonsumsi sejumlah barang tertentu.
·         Nilai guna marginal, merupakan pertambahan (atau pengurangan) kepuasan sebagai akibat dari pertambahan konsumsi satu unit barang tertentu.
Setiap orang akan berupaya memaksimumkan nilai guna dari barang dan jasa yang dikonsumsinya. Syarat yang harus dipenuhi adalah setiap rupiah yang dikeluarkan untuk membeli unit tambahan dari berbagai jenis barang akan memberi nilai marginal yang sama besar. Hukum ini disebut hukum memeratakan guna marginal setiap rupiah. Rumusnya:
MUx = MUy = MUn
Px          Py        Pn

MU                  = Marginal utility
x,y, …n           = barang yang dibeli
P                      = harga barang

b. Pendekatan indifference curve (pendekatan ordinal)
Merupakan model pendekatan yang tidak memerlukan anggapan bahwa kepuasan konsumen bisa diukur. Indifference curve adalah kurva yang menunjukkan kombinasi konsumsi dua jenis barang yang memperoleh tingkat kepuasan yang sama

Sifat-sifat indifference curve:
a)      Turun miring dari kiri atas ke kanan bawah
Hal ini disebabkan jika jumlah barang x ditambah maka jumlah barang y akan dikurangi, dan sebaliknya.

b)      Cembung mengarah ke titik 0 atau origin
Garis indifference curve yang bergerak dari kiri atas menuju ujung kanan bawah berarti pada awalnya konsumen lebih banyak mengkonsumsi barang y. Untuk mendapatkan tambahan barang x maka konsumen harus melepaskan barang y lebih besar daripada barang x yang diperlukan.

Semakin sedikit barang y yang dikonsumsi maka semakin besar kesediaannya untuk melepas barang y untuk mendapatkan tambahan barang x. Proses pengurangan barang y tersebut bila dibuat grafik akan berbentuk cembung ke arah titik origin. Hal ini disebabkan perbandingan antara pertukaran barang y untuk mendapat tambahan barang x tidak konstan atau bertambah, melainkan berkurang. Tingkat kesediaan konsumen untuk melepas suatu barang tertentu guna mendapat tambahan barang lain disebut marginal rate of substitution (MRS).

c)      Tidak saling memotong
Indifference curve hanya berlaku untuk satu tingkat pendapatan tertentu. Jika tingkat pendapatan seseorang naik atau turun maka indifference curve yang dimiliki orang tersebut untuk suatu waktu dengan waktu yang lainnya akan berbeda, tidak hanya satu, tetapi banyak bergantung pada frekuensi kenaikan atau penurunan dari pendapatannya. Keadaan tersebut digambarkan sebagai indifference map. Kurva indifference-nya tidak mungkin berpotongan.


3. Ekonomi Kerakyatan
3.1 Latar Belakang Lahirnya Konsep Ekonomi Kerakyatan
Pasca perang dunia kedua, konsep ekonomi yang paling dominan adalah pemikiran yang diwarnai teori pertumbuhan sebagai kekuatan utama yang dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Teori pertumbuhan berpandangan, investasi termasuk penggunaan teknologi modern akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja atas dasar upah.
Faktanya, tidak semua negara mereguk kesuksesan. Sebab sejumlah kasus berbicara bahwa pertumbuhan tidak bisa dinikmati rakyat hingga lapisan bawah. Bahkan di beberapa negara berkembang kesenjangan sosial ekonomi semakin lebar. Karenanya di Indonesia digagas konsep pembangunan yang bertumpu pada manusia dan berakar kerakyatan yang dikenal sebagai ekonomi kerakyatan.
Konsep ekonomi kerakyatan dilakukan sebagai strategi membangun kesejahteraan dengan lebih memberdayakan masyarakat.

3.2 Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan
Pemberdayaa masyarakat menurut Kartasasmita memiliki dua arah yakni: 1) Melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, 2) memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan.
Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan ekonomi merupakan strategi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep tersebut merupakan paradigma baru yang bersifat people centered (berpusat pada masyarakat), participatory (partisipasi), empowering (pemberdayaan), dan sustainable (berkelanjutan).
Menurut Kartasasmita, pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan ekonomi dapat dilihat dari 3 sisi yaitu: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, serta memberdayakan juga berarti melindungi sehingga dalam pemberdayaan harus dicegah yang lemah bertambah lemah karena kurang berdaya menghadapi yang kuat.
Jelas terdapat pertautan antara konsep ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan, di mana pendekatan utamanya adalah menjadikan masyarakat sebagai aktor pembangunanya sendiri dan tidak menjadikannya sebagai obyek proyek pembangunan.

3.3 Ekonomi Kerakyatan Sebagai Manifestasi Pembangunan yang Berpusat pada Rakyat
Sistem ekonomi kerakyatan akan sanggup mengakomodasi kebhinekaan yang ada di setiap daerah karena berpusat pada rakyat sehingga menghargai dan mepertimbangkan prakarsa dan perbedaan lokal. Pembangunan yang berpusat pada rakyat mensyaratkan desentralisasiyang cukup besar dalam proses pembuatan keputusan maupun pelaksanaan.
3 Dasar yang melandasi konsep pem bangunan yang berpusat pada rakyat:
1. Memusatkan pemikiran dan tindakan kebijaksanaan pemerintah pada penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong dan mendukung usaha-usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan memecahkan masalah mereka sendiri pada tingkat individu, keluarga, dan komunitas
2. Mengembangkan struktur dan proses organisasi yang berfungsi menurut kaidah-kaidah sistem yang swa-organisasi
3. Mengembangkan sistem-sistem produksi-konsumsi yang diorganisasi secara territorial yang berlandaskan pada kaidah-kaidah pemilikan dan pengendalian modal.

Korten dan Syahrir berpendapat, salah satu tantangan terlaksananya pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah mengubah orientasi birokrasi pembangunan ekonomi itu sendiri agar menjadi organisasi yang menghargai dan memperkuat kerakyatan. Sebab selama ini organisasi dibentuk di sekitar kelompok-kelompok primer yang menyiapkan dan  memenuhi tujuan lokal.
Tantangan lainnya adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) di setiap teritorial Indonesia untuk berperan dalam ekonomi kerakyatan. Untuk meningkatkan mutu SDM  sekaligus mempercepat pelaksanaan kerangka kerja ekonomi kerakyatan bisa ditempuh melalui program pengembangan wirausaha.

3.4 Ekonomi Kerakyatan dan Doktrin Ekonomi Indonesia
Dokrin ekonomi Indonesia muncul dari falsafah Pancasila yang merupakan subsistem dari UUD 1945. Pasal utama bertumpunya doktrin ekonomi Indonesia adalah pasal 33 UUD 1945, dengan kelengkapannya pasal 27 ayat 2 dan pasal 34.
Pasal-pasal itu bila dikaitkan dengan kerangka kerja ekonomi kerakyatan jelas mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab dalam ekonomi kerakyatan memuat pesan-pesan moral yang berasaskan kekeluargaan dan kebersamaan serta berintikan kerakyatan.