#under_header{ margin:10px 0; padding:1%; width:98%; }

Benvenuto

Selamat datang bagi yang nyasar, tersesat, atau memang sengaja masuk ke Ruang Vita. Ruang ini memang berantakan, gelap, dan tidak mempesona, tapi semoga berkenan menyusurinya....

Kamis, 10 Desember 2009

Perempuan Itu

Perempuan itu biasa saja. Ya, mungkin dia sedikit lebih pintar dariku tapi penampilannya tidak jauh lebih sempurna dariku. Secara fisik, mungkin aku lebih menarik darinya. Banyak yang mengatakan aku memiliki tubuh yang seksi. Aku pun mengakui hal itu.

Sebelumnya aku hanya tahu sosok perempuan itu dari foto. Tidak. Dia tidak sendiri di foto itu. Perempuan itu foto beramai-ramai dengan sekitar 10 orang lainnya. Tapi dia berdiri di samping suamiku. Saat foto itu diambil, pria di samping perempuan itu memang belum jadi suamiku. Tapi kini, 6 bulan sejak foto itu diambil, pria itu sudah menjadi suamiku.

Dari suamiku, aku tahu nama perempuan itu. Dinar. Suamiku selalu bersemangat bila sedang bercerita tentang Dinar. Dinar yang pintar. Dinar yang bersemangat. Dinar yang ramah. Dinar yang baik. Dinar yang punya segudang prestasi. Suamiku memang tidak begitu saja mau bercerita tentang perempuan itu. Aku yang sering memancingnya untuk bercerita. Aku hanya ingin tahu tentang perempuan yang mampu membangkitkan sinar lain di wajah suamiku.

Aku tahu, Dinar adalah perempuan selain aku yang kerap mendapat perhatian dari suamiku. Mungkin jumlah telepon dan sms dari suamiku ke perempuan itu hampir sama dengan yang dikirimkannya untukku.

Malam ini tanpa sengaja aku dan suamiku bertemu perempuan itu. Keduanya terkejut saat menyadari bertemu tanpa sengaja. Ada guratan kemerahan di wajah mereka. Ada rona senang di paras suamiku dan perempuan itu. Mereka terpana seakan tidak menyadari kehadiranku. Namun beberapa detik kemudian mata perempuan itu beradu dengan mataku. Suamiku pun mengenalkan perempuan itu padaku.

Istriku. Ada kesan kikuk waktu suamiku menyebut statusku di depan perempuan itu. Senyum perempuan itu pun seketika berubah. Senyum getir. Senyum yang menyimpan luka. Tapi dia berusaha keras untuk tetap hangat. Suamiku juga berusaha mati-matian menyembunyikan perasaannya.

Perempuan itu lantas pamit setelah melirik jam di tangan kirinya. Aku mengangguk. Perempuan itu berlalu. Suamiku menghela nafas, kemudian menggenggam erat tanganku. Suamiku seolah ingin menghilangkan bayangan perempuan itu lewat genggaman tangannya.

Perempuan itu memang sangat berarti buat suamiku. Belakangan aku telah banyak mendengar cerita tentang mereka berdua sebelum pernikahanku terjadi. Perempuan itu mengerti benar sifat suamiku. Perempuan itu tahu benar bagaimana menghadapi suamiku. Mungkin perempuan itu mengenal suamiku jauh lebih baik daripada aku. Tapi ada jurang yang tak mampu perempuan itu dan suamiku seberangi.

“Kamu mau mengejar perempuan itu, Mas. Dia belum jauh kok,” kataku pada suamiku.

“Dia punya nama.”

“Oke, kamu bisa mengejar Dinar, kalau kamu mau, Mas.”

“Sudahlah, dia hanya masa laluku. Aku akan terus belajar melupakannya. Aku tidak mau mengkhianatimu. Aku sudah memilihmu untuk menjadi masa depanku. Maafkan aku.”

Aku melihat ada luka lebar menganga di hatinya. Darah mengalir deras. Pasti perih, pedih, sakit. Suamiku pasti menderita sekali. Perempuan itu juga pasti mengalami derita yang sama.

“Seandainya kalian berdua bisa membangun jembatan bersama, pasti tidak akan kubiarkan dia pergi,” desahku.

“Ini adalah pilihan. Aku tahu, pada akhirnya dia tidak akan bahagia bersamaku.”

Aku menengok ke belakang. Perempuan itu berdiri sambil memandang suamiku. Air matanya berderai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar