#under_header{ margin:10px 0; padding:1%; width:98%; }

Benvenuto

Selamat datang bagi yang nyasar, tersesat, atau memang sengaja masuk ke Ruang Vita. Ruang ini memang berantakan, gelap, dan tidak mempesona, tapi semoga berkenan menyusurinya....

Minggu, 13 Desember 2009

Menggagas Indonesia ke Depan Melalui Kemandirian Alutsista



Pendahuluan
63 Tahun sudah usia kemerdekaan Indonesia. Dalam kurun waktu itu sejumlah keberhasilan dalam bidang pembangunan dan proses bernegara telah dicapai. Meski demikian masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan demi meninggalkan status negara berkembang menuju negara maju.

Untuk menjadi negara maju yang bisa bersaing dengan negara-negara lainnya di era globalisasi ini memang bukan perkara mudah. Namun bila hanya menyerah pada keadaan sehingga tidak mengambil langkah apapun untuk maju, maka Indonesia akan terus berada di barisan belakang. Segala potensi yang dimiliki tidak akan menjadi nilai tambah apabila tidak dikelola dengan baik. Hingga usianya yang lebih dari setengah abad ini, Indonesia masih banyak bergantung pada negara-negara lain. Memang benar, suatu negara tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari negara lain, namun bila ketergantungan itu lantas berurat dan berakar maka akan merugikan negara itu sendiri.

Contoh nyata bisa dilihat ketika Indonesia diembargo oleh AS dan Uni Eropa pada 1999 hingga 2005 dalam pengadaan senjata militer akibat pelanggaran HAM di Timor Leste. Indonesia yang sebelumnya sangat bergantung pada peralatan militer buatan AS pun kerepotan. Sejumlah alat tempur buatan AS milik Indonesia yang mengalami kerusakan suku cadang pun tak ubahnya sekumpulan besi tanpa makna. Indonesia tidak bisa berbuat banyak karena dilarang mengimpor senjata dari negara-negara anggota NATO.

Saat embargo masih berjalan, Indonesia memang mencari alternatif pengadaan peralatan militernya. Rusia sebagai negara non-NATO yang dikenal pula sebagai produsen senjata pun dilirik untuk memenuhi kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Pesawat tempur Sukhoi lantas didatangkan dari negara yang dulunya bernama Uni Soviet itu.

Dalam pengadaan senjata militer, Indonesia memang belum mandiri. Pada 2004, Indonesia memiliki 173 jenis sistem persenjataan yang bersumber dari 17 negara produsen. Lima peringkat terbesar sumber persenjataan Indonesia adalah AS (34%), Prancis (12%), Jerman (12%), Rusia (10%), dan Inggris (9%).[1] Meski ada beberapa industri strategis persenjataan lokal, namun baru memberi kontribusi 5% dari seluruh jenis sistem persenjataan yang dimiliki TNI.

Bagaimanapun, ketergantungan menimbulkan dampak negatif bagi Indonesia. Negara tempat bergantung akan lebih mudah ‘menyetir’ Indonesia. Negara-negara tersebut juga akan mengetahui kekuatan militer yang dimiliki Indonesia. Selain itu, ketergantungan akan menyebabkan industri strategis bidang pertahanan tidak akan berkembang.

Rumusan Masalah
Di masa mendatang Indonesia harus benar-benar berdiri di atas kakinya sendiri, tidak selalu menggantungkan pengadaan alutsistanya kepada negara-negara lain. Untuk itu diperlukan strategi yang bisa mendukung kemandirian alutsista. Karenanya makalah ini mengajukan rumusan masalah: Bagaimana mewujudkan kemandirian alutsista di masa depan?

Asumsi Dasar
Kemandirian alutsista Indonesia bisa diraih dengan memaksimalkan kekuatan lokal pertahanan yang dimiliki dan sekaligus mengelimir kelemahan yang ada.

Kerangka Teori
Untuk menunjukkan dan mempertahankan eksistensinya, suatu negara perlu mengetahui kondisi internal dan eksternalnya. Analisa dari kondisi tersebut akan memudahkan penyusunan strategi yang tepat, termasuk penyusunan strategi kemandirian alutsista. Untuk menganalisanya digunakanlah analisa SWOT.

Teknik analisa ini diperkenalkan pertama kali oleh Albert Humphrey yang memimpin proyek penelitian Universitas Stanford pada 1960 dan 1970. SWOT berarti strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (kesempatan), dan threat (ancaman). Strength adalah faktor internal, merupakan atribut positif yang nyata dan yang tidak nyata. Sedangkan weakness adalah faktor-faktor yang muncul dari dalam kontrol organisasi dan bisa mengurangi kemampuan mencapai tujuan. Opportunity merupakan faktor eksternal yang atraktif yang menjadi alasan suatu organisasi eksis dan berkembang. Threat juga merupakan faktor eksternal, yang bisa menempatkan organisasi yang bersangkutan pada risiko operasi. Namun apabila bisa mengatasi ancaman tersebut, organisasi yang bersangkutan akan mendapatkan keuntungan. Biasanya ancaman dibagi menjadi dua, yakni ancaman serius dan yang mungkin terjadi.[2]

Setelah  dibuat daftar strength, weakness, opportunity, dan threats, dibuatlah matriks SWOT untuk mengtahui strategi apa saja yang mungkin diambil. Ada 4 alternatif strategi sebagai hasil matriks.

Menurut Setiawan Hari Purnomo dan Zulkieflimansyah (1999), berdasarkan hasil analisis SWOT, terdapat empat alternatif strategi yang tersedia yaitu strategi SO, WO, ST,dan WT. Matriks SWOT digambarkan sebagai berikut:[3]

Tabel 1 Format Matriks SWOT

                                Eksternal
Internal
Opportunity
Threat
Strength
SO Strategies
ST Strategies
Weakness
WO Strategies
WT Strategies
Sumber: Rangkuti, 2005

Keterangan Matriks SWOT tersebut sebagai berikut:[4]
􀂾 SO strategies: ini merupakan situasi yang menguntungkan. Perusahaan memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkandalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth oriented stategy).
􀂾 ST strategies: dalam situasi ini perusahaan menghadapi berbagai ancaman, tetapi masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (produk/pasar).
􀂾 WO strategies: dalam situasi ini perusahaan menghadapi peluang pasar yang besar, tetapi juga menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi pada situasi ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik.
􀂾 WT strategies: ini merupakan situasi yang tidak menguntungkan, sehingga perusahaan harus menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.

Pembahasan
Alutsista merupakan komponen penting sistem pertahanan suatu negara. Sebab alutsista bisa menjadi salah satu faktor untuk mengukur kekuatan TNI sebagai alat pertahanan yang berfungsi melindungi NKRI dari berbagai ancaman perang. Peralatan perang yang memadai dan ditunjang penguasaan teknologi tinggi akan menjadi kekuatan suatu angkatan perang, apalagi bila tengah menghadapi perang yang sifatnya tidak langsung. Hal ini utamanya dimaksudkan untuk efisiensi dan menghindari banyaknya korban yang berjatuhan.

Mandiri dalam pengadaan alutsista memang bukan pekerjaan mudah dan murah. Namun bila tidak segera dimulai upaya-upaya untuk mencapai kemandirian itu, maka kemandirian alutsista akan semakin tertunda dan bukan tidak mungkin hanya menjadi angan-angan belaka. Apabila kemandirian alutsista tidak tercapai, maka mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia akan semakin tergantung pada negara-negara produsen persenjataan.

A. Kondisi Alutsista Indonesia
Sistem persenjataan Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ringkih. Kondisi terparah terjadi ketika Indonesia masih di bawah embargo persenjataan Barat. Indonesia sama sekali tidak bisa membeli persenjataan dan komponennya dari negara Barat (AS) yang telah sekian lama menjadi pemasok alat-alat pertahanan terbesar di Tanah Air. Faktor usia peralatan yang sudah uzur serta terbatasnya pengadaan komponen dan suku cadang turut memperpanjang daftar masalah alutsista TNI. Akibatnya separuh alutsista TNI tidak bisa beroperasi maksimal dalam menjaga keamanan wilayah negara Indonesia yang luas.

Kemampuan udara TNI AU patut dipertanyakan mengingat kelaikan terbang sejumlah pesawat yang dimilikinya tidak optimal. Dari 20 unit pesawat angkut jenis C-130, hanya 6 unit yang laik terbang. Kemudian dari 10 unit pesawat tempur jenis F-16, hanya 4 yang laik terbang. Demikian pula dengan 12 unit jenis F-5, hanya 4 yang laik terbang.[5] Jadi kesiapan kekuatan alutsista matra udara yang tertumpu pada pesawat tempur, pesawat angkut, pesawat helikopter hanya mencapai 43,5%, dengan kesiapan satuan Paskhas sekitar 60%. Secara garis besar, jumlah pesawat yang dimiliki adalah 246 unit dengan kondisi siap operasi 127 unit atau sekitar 51,6%.[6]

Selain itu, radar yang dimiliki TNI AU juga sebagian besar tidak berfungsi baik. Apalagi pesawat intai yang jumlahnya tidak sebanding dengan luas wilayah laut dan udara Indonesia. Tentu saja kondisi itu menyebabkan pengintaian dan patrol tidak dapat menjangkau seluruh wilayah RI terutama wilayah terluar.

Kondisi alutsista TNI AL juga tidak jauh berbeda. TNI-AL hanya memiliki 114 KRI dan 53 pesawat yang terdiri dari berbagai tipe dan rentang pembuatan yang berbeda. Idealnya, guna melindungi zona perbatasan laut nasional sepanjang lebih dari 613 mil, dibutuhkan minimal 38 kapal patroli.[7]

Kondisi ini sangat tidak memadai untuk mengamankan wilayah perairan yang begitu luas. Tentara Indonesia pun kesulitan memantau dan mengawasi pergerakan illegal yang terjadi di perairan Nusantara. Terkadang kapal patrol yang digunakan bahkan kalah cepat dari kapal-kapal asing yang memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin untuk mencuri ikan. TNI AU dan TNI AL mengemban tugas yang sama sekali tidak ringan karena harus menjaga wilayah kedaulatan Indonesia yang meliputi 17.500 pulau, 5,8 juta kilometer persegi wilayah laut, dan 81.000 kilometer panjang garis pantai.

Sedangkan kekuatan alutsista TNI AD sebagian besar masih bertumpu pada aset lama yang meliputi 1.261 unit ranpur, namun yang siap operasi hanya 799 unit. Dari 59.842 unit ranmor yang dimiliki, namun yang siap operasi hanya 52.165 unit. Selain itu memiliki 538.469 pucuk senjata dengan berbagai jenis, tetapi yang siap operasi 392.431 pucuk. Dan pesawat terbang 53 unit dari bebagai jenis yang siap operasi 27 unit.[8]

Akibat minimnya alutsista yang dimiliki TNI, illegal fishing merajalela. Indonesia diperkirakan mengalami kerugian lebih dari Rp 20 triliun per tahun akibat praktek illegal fishing tersebut. Uang yang seharusnya dinikmati warga Indonesia malah masuk ke kantong warga negara tetangga yang nekat dan bahkan ketagihan mengambil ikan dan sumber daya laut lainnya tanpa izin.

Semangat nasionalisme dan patriotisme tentara Indonesia memang sudah dikenal dunia internasional. Namun itu saja tidak cukup bila tidak ditunjang autsista yang memadai. Bagaimanapun teknologi yang semakin berkembang akan selalu dibutuhkan untuk menangkal dan menghadapi segala macam bentuk ancaman kedaulatan. Bayangkan, bila sengketa perbatasan antara Indonesia dengan negara tetangga berkembang menjadi konflik senjata secara terbuka, tentu Indonesia akan keteteran. Selain itu usia persenjataan yang sudah uzur tentu bisa mengancam keselamatan prajurit. Masih melekat di benak kita ketika terjadi jatuhnya pesawat Nomad milik TNI-AL dan pesawat milik TNI-AU jenis  Sky Pack, serta tenggelamnya panser amfibi BTR-50P milik TNI AL di Perairan Situbondo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.

B. Kemandirian Alutsista dalam Analisa SWOT
Kemandirian alutsista tentu menjadi keinginan semua negara agar tidak selalu tergantung pada negara lain. Untuk itu penting mengetahui apa saja kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dimiliki demi membangun kemandirian alutsista bangsa.

Agar mandiri dalam pengadaan alutsista, maka harus memiliki industri pertahanan yang bisa mewakili semua matra, yakni laut, udara, dan darat. Indonesia memiliki ketiganya yakni PT Dirgantara Indonesia (DI) untuk mendukung matra udara, PT Pindad untuk mendukung matra darat, dan PT PAL untuk mendukung matra laut. Selain itu masih ada beberapa industri lain di Tanah Air yang mampu mendukung alutsista seperti PT KS, PT LEN, dan PT Dahana.

Kekuatan yang dimiliki:
  • Mampu membuat kendaraan militer berspesifikasi hampir sama dengan buatan negara lain namun harganya lebih murah.
Misalnya saja PT Pindad mampu membuat kendaraan pengangkut personel 6x6 yang tampilan fisiknya mirip buatan Prancis. Kendaraan baja buatan PT Pindad dijual Rp 7 miliar per unit, atau lebih murah 60 persen dari harga impor.

  • Produk yang dihasilkan diakui negara lain telah memiliki kualitas setara dengan produk sejenis yang berkembang di pasaran internasional (mampu bersaing).

  • Mampu membuat produk yang unik.
Meskipun secara sepintas produk kendaraan pengangkut personel 6x6 buatan PT Pindad tampilan fisiknya mirip buatan Prancis, namun ada keunikan tersendiri. Panser buatan PT Pindad didesain agar keadaan dalam kendaraan lebih dingin sehingga membuat prajurit merasa lebih nyaman lantaran dilengkapi pengatur suhu udara yang memadai.

  • Lokasi industri strategis karena didukung infrastruktur yang cukup memadai untuk memudahkan transportasi dan komunikasi.
Sejumlah industri pertahanan Indonesia berlokasi di kota-kota yang strategis. Misalnya saja PT Pindad dan PT DI berlokasi di Bandung yang dekat dengan Cilegon tempat PT Krakatau Steel yang memasok baja berada. PT LEN yang bergerak di bidang sarana elektronik dan komunikasi juga berada di Bandung sehingga memudahkan pemesanan dan pengiriman barang untuk keperluan komunikasi kendaraan militer.

Kelemahan yang dimiliki:
  • Kurangnya SDM yang berkualitas
Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia setelah Cina, India dan AS. Jumlah penduduk Indonesia pada 2008 mencapai 225 juta jiwa.[9]

Pada tahun 2006, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat 108 dengan nilai IPM 0,711 (kategori menengah).[10] Hal ini menunjukkan SDM berkualitas di Indonesia masih terbatas. Keterbatasan SDM berkualitas yang bisa memanfaatkan dan menggunakan teknologi terbaru membuat penelitian dan pengembangan produk-produk militer tidak bisa berjalan secepat negara-negara maju.

  • Belum mampu mengembangkan produk dengan teknologi mutakhir.
Meskipun industri militer Indonesia sudah menunjukkann tanda-tanda kemajuan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, namun Indonesia masih belum mampu menyamai produksi senjata dan kendaraan militer buatan negara lain yang biasa memasok produknya untuk keperluan TNI. Sebagai contoh, Indonesia belum mampu membuat kendaraan tempur baja setara dengan Abrahams buatan AS yang dilengkapi sistem suspensi yang mampu menyerap guncangan di medan berat dalam kondisi kendaraan bergerak kencang.

Sebagian besar kendaraan tempur yang diproduksi oleh Indonesia masih memiliki teknologi yang jauh di bawah negara-negara produsen kendaraan tempur lainnya macam Rusia dan AS.

  • Keterbatasan dana.
Teknologi tinggi dan baru identik dengan guliran dana yang tidak sedikit. PT Pindad, misalnya, membutuhkan dana Rp 20-25 miliar untuk riset dan peralatan. Rp 15 miliar di antaranya dikhususkan untuk riset peralatan militer. Sebagai catatan pada 2004, PT Pindad pendapatannya mencapai Rp 470 miliar dengan laba bersihnya sebesar Rp 35 miliar.[11]

Keterbatasan dana hampir selalu menjadi faktor penghambat proses produksi.. Misalnya saja dalam pembuatan Helikopter Super Puma NAS 332 oleh PT DI pada pertengahan 2008 lalu terhenti akibat kurangnya dana. Dari 16 unit Super Puma yang dipesan TNI AU, ada 4 helikopter yang terhenti pembuatannya.

  • Komponen masih impor.
Bahan baku dan bahan penunjang pembuatan kendaraan militer pendukung alutsista sebisa mungkin menggunakan produk lokal. Hal itu penting dilakukan untuk mempercepat proses produksi dan untuk menekan biaya produksi. Sayangnya, belum semua komponen kendaraan kendaraan tempur bisa diperoleh dari dalam negeri.

Kebanyakan engine kendaraan masih diimpor dari negara lain. Dalam pembuatan panser     buatan PT Pindad, dari 12 subsistem, tiga di antaranya yakni engine, transmisi dan cooling pack harus diimpor dari Renault Perancis dan Jerman.  Sedangkan sisanya seperti body, suspensi, elektrikal, steering, dan  senjata dibuat di dalam negeri. Masih bergantungnya beberapa komponen kepada mekanisme impor membuat Indonesia belum sepenuhnya mandiri dalam pengadaan alutsistanya.

Kesempatan
  • Embargo dan pasca embargo senjata AS dan uni Eropa
Embargo senjata AS dan Uni Eropa terhadap Indonesia telah berakhir pada 2005 lalu. Pada saat embargo berlangsung dan setelah embargo usai, Indonesia melengkapi alutsistanya dengan produk-produk dari Rusia.
Namun pada saat embargo berlangsung, Indonesia berusaha membuat sejumlah kendaraan militer dengan spesifikasi dan fungsi yang hampir setara dengan produksi luar negeri. Embargo dan pasca embargo dijadikan kesempatan untuk mengembangkan alutsista yang lebih baik dan lebih maju.

Maintenance alutsista produk lokal telah mampu memberikan jaminan kecepatan dan ketepatan sehingga semakin membuat anak-anak bangsa terpacu untuk bekerja keras dan berinovasi. Embargo dan pasca embargo militer sedikit banyak mampu digunakan sebagai ajang unjuk gigi bagi Indonesia untuk mengembangkan alutsistanya secara mandiri.

Ancaman
  • Masyarakat kurang percaya produk dalam negeri
Masih tertanam stigma di tengah masyarakat bahwa produk dalam negeri selalu kalah daripada produk impor. Karenanya produk dalam negeri hampir selalu dinomorduakan, Hal ini tentu berpotensi menjatuhkan dan mematikan industri militer dalam negeri.

Ketika PT Pindad sudah mampu membuat panser pengangkut personel, pemerintah masih saja membeli panser dari Prancis untuk dikirim ke Lebanon sebagai pendukung tugas pasukan penjaga perdamaian PBB. Bila hal ini berlangsung berlarut-larut, maka kendaraan militer anak bangsa hanya akan menjadi pajangan dalam kegiatan-kegiatan seremonial.

Dalam matriks SWOT, diterapkan WO strategies, yang berarti dalam situasi ini perusahaan menghadapi peluang pasar yang besar, tetapi juga menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi pada situasi ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik.
Kelemahan diberi nilai paling besar dibandingkan elemen SWOT lainnya karena dengan memfokuskan pada pengeliminasian kelemahan dan memaksimalkan kesempatan dapat memberikan dampak paling positif sehingga paling memiliki potensi untuk berkembang.

Pengeliminasian kelemahan yang dimiliki bisa dilakukan dengan mengirimkan putra-putri bangsa untuk belajar teknologi terbarukan ke negara lain sehingga dapat mengaplikasikan ilmunya di Tanah Air. Hal lainnya adalah dengan mengadopsi pengadaan alutsista yang dilakukan China, yakni dengan membongkar kendaraan militer produksi negara lain dan lantas mencontek teknologinya. Hal ini mungkin dilakukan apabila pemerintah tidak bisa menjembatani mekanisme alih teknologi dari negara maju.

Embargo militer oleh AS dan Uni Eropa telah berlalu, artinya Indonesia kembali dibolehkan membeli peralatan militer dari negara-negara anggota NATO. Namun dengan perkembangan yang terjadi pada industri militer dalam negeri, seharusnya membuat pemerintah mampu memberi perhatian lebih sehingga kemandirian alutsista bukanlah khayalan.

Kesimpulan
Indonesia di masa mendatang harus bisa mewujudkan kemandirian alutsistanya. Hal itu penting untuk menghindari pengalaman buruk keterpurukan alutsista akibat embargo militer yang diterapkan AS dan Uni Eropa.

Untuk kasus Indonesia, kemandirian alutsista bisa diwujudkan dengan mengeliminasi kelemahan-kelemahan internal yang dimiliki sekaligus mengkolaborasikan dengan kesempatan yang ada. Apabila hal itu sukses dilakukan maka kemandirian alutsista bukanlah suatu angan-angan.

Kemandirian alutsista sangat penting dan perlu dilakukan segera. Selain menghindari embargo, pengembangan alutsista secara mandiri akan lebih menghemat devisa negara. Selain itu, penguasaan dan pengembangan teknologi juga akan semakin mantab, dan bukan tidak mungkin di masa mendatang Indonesia akan menjadi salah satu negara produsen senjata dan kendaraan militer yang dipertimbangkan di dunia internasional.

Mandiri dalam alutsista bukan perkara mudah, karenanya butuh dukungan dan perhatian dari pemerintah. Anggaran yang memadai dan menomorsatukan penggunaan senjata dan kendaraan militer buatan putra-putri bangsa adalah faktor penting yang tidak bisa diremehkan.





Sumber Bacaan
Rangkuti, Freddy, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Cet 12, Jakarta: Gramedia, 2005.
Alutsista TNI, Kelaikan atau Kelalaian? http://web.pab-indonesia.com/content/view/6060/60/ diakses pada Selasa 31 Maret 2009.
Andi Widjadjanto, Merevisi Sistem Persenjataan Indonesia, http://www.tni.mil.id/news.php?q=dtl&id=1659 diakses pada Minggu 29 Maret 2009.
Bedil Usang Saatnya Berlalu (4), http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/02/15/217/83764/bedil-usang-saatnya-berlalu-4 diakses pada Selasa 31 Maret 2009.
Daftar negara menurut Indeks Pembangunan Manusia http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_Indeks_Pembangunan_Manusia, diakses pada 1 April 2009.
Penduduk Indonesia Bisa 270 Juta Jiwa, http://kompas.co.id/read/xml/2008/07/11/13413019/penduduk.indonesia.bisa.270.juta.jiwa, diakses pada 1 April 2009.
Prakoso Bhairawa Putera, Mampu di Laut Kita Jaya, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=218300 diakses pada Selasa 31 Maret 2009.
SWOT Analysis - Matrix, Tools Templates and Worksheets, http://www.rapidbi.com/created/SWOTanalysis.html, diakses pada Senin 30 Maret 2009.
TNI Pesan 15 Ribu unit Senapan Serbu dari PT Pindad, http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=6799, diakses pada 1 April 2009.















[1] Andi Widjadjanto, Merevisi Sistem Persenjataan Indonesia, http://www.tni.mil.id/news.php?q=dtl&id=1659 diakses pada Minggu 29 Maret 2009.

[2] SWOT Analysis - Matrix, Tools Templates and Worksheets, http://www.rapidbi.com/created/SWOTanalysis.html, diakses pada Senin 30 Maret 2009.
[3] Rangkuti, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Cet 12, Jakarta,2005. hal 19
[4] Ibid, hal 20
[5] Alutsista TNI, Kelaikan atau Kelalaian? http://web.pab-indonesia.com/content/view/6060/60/ diakses pada Selasa 31 Maret 2009.
[6] Bedil Usang Saatnya Berlalu (4), http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/02/15/217/83764/bedil-usang-saatnya-berlalu-4 diakses pada Selasa 31 Maret 2009.
[7] Prakoso Bhairawa Putera, Mampu di Laut Kita Jaya, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=218300 diakses pada Selasa 31 Maret 2009.
[8] Ibid
[9] Penduduk Indonesia Bisa 270 Juta Jiwa, http://kompas.co.id/read/xml/2008/07/11/13413019/penduduk.indonesia.bisa.270.juta.jiwa, diakses pada 1 April 2009.
[10] Daftar negara menurut Indeks Pembangunan Manusia http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_Indeks_Pembangunan_Manusia, diakses pada 1 April 2009.
[11] TNI Pesan 15 Ribu unit Senapan Serbu dari PT Pindad, http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=6799, diakses pada 1 April 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar