#under_header{ margin:10px 0; padding:1%; width:98%; }

Benvenuto

Selamat datang bagi yang nyasar, tersesat, atau memang sengaja masuk ke Ruang Vita. Ruang ini memang berantakan, gelap, dan tidak mempesona, tapi semoga berkenan menyusurinya....

Rabu, 26 Agustus 2009

Mengapa Aku Selalu Bertanya Mengapa?

Aku sudah terbiasa bekerja dengan memanfaatkan 100 persen otak dan kemampuanku. Banyak prestasi kutoreh selama aku hidup. Kupikir itu wajar, bukankah aku selalu melakukan semuanya dengan maksimal. Bukankah setiap orang yang bekerja keras pantas mendapatkan hasil yang lebih baik? Aku selalu percaya hal itu.

Tapi dalam hidup, selalu saja ada hal yang tidak berjalan sesuai rencana. Aku sudah dan sering bekerja terlalu keras untuk mencapai sesuatu. Tapi sesuatu itu tak kunjung aku dapatkan.Makanya aku tidak pernah habis pikir jika ada seseorang yang tidak terlalu pintar, tidak terlalu berbakat, tapi dengan mudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Bukan, aku bukan sedang merendahkan kemampuan seseorang. Tapi apa salah kalau aku mengatakan apa adanya.

Mengapa aku tidak juga mendapatkan bintang yang sejak lama aku tunjuk dari bumi? Aku harus bagaimana sih? Bullshit dengan semua orang yang menasihatiku agar aku selalu berpikiran positif. Jujur, aku sulit sekali melakukan hal itu. Sebab hampir setiap menitku, aku menemui hal-hal yang bertentangan dengan apa yang aku mau. Kalau sudah begini, aku ingin sekali marah. Karena aku tidak tahu harus marah kepada siapa, yang ada aku selalu menyalahkan lingkunganku.

Aku selalu berusaha menjadi orang baik, tapi mengapa aku tidak pernah mendapatkan hal-hal yang menurut aku baik? Aku jadi sangsi pada hukum alam soal tabur tuai kebaikan. Nyatanya, banyak orang yang curang dan berotak kerdil justru mendapatkan apa yang mereka mau. Bahkan setelah mereka mendapatkan kemauannya itu, mereka sok berbicara tentang perjuangannya. Terdengar sangat heroik, namun setiap kali mendengar ‘cerita kepahlawanan’ itu aku selalu ingin muntah.

Katanya, saat tergelap adalah saat menjelang fajar. Ya, sering kali seseorang akan mengalami hal yang sangat sulit bahkan mungkin sakit ketika sudah mendekati tujuannya. Tapi aku? Sepertinya dalam ‘dunia’ ku tengah terjadi malam yang lebih panjang dari pada siang, ditambah gerhana matahari total, dan dilanjutkan datangnya mendung tebal. Entah kapan fajar itu akan datang. Mengapa hari-hariku begitu gelap?

“Sekarang jam 10.00 WIB,” ujar seorang pria paruh baya kepada istrinya. Mereka sama seperti aku, penumpang Trans Jakarta. Kami sama-sama naik dari halte Blok M dan akan menuju Harmoni. Sepasang suami istri itu memakai baju warna biru, warna baju yang sama seperti yang aku pakai. Bedanya, kedua mataku bisa melihat, sedangkan mereka berdua tidak.

Pria itu mendekatkan jam tangan ke telinga setiap kali mengecek waktu. Sedangkan aku, cukup melirik jam tangan atau jam di handphoneku. Meski tidak bisa melihat, namun wajah keduanya tampak ceria. Garis senyum selalu membayang di bibir mereka.

Aku memejamkan mataku. Telapak tangan kuletakkan di depan mataku yang terpejam. Hitam. Gelap. Pasti keadaan seperti itu yang selalu ‘dilihat’ pasangan tuna netra itu. Tapi bisa-bisanya mereka pergi ke luar rumah, naik transportasi umum, dengan wajah tersenyum pula. Aku melihat sekelilingku. Di depanku ada seorang perempuan berbaju kuning sedang sibuk dengan handphonenya. Di kursi paling belakang bus ada orang-orang yang memakai baju coklat, hitam, biru, dan hijau.

Ya Tuhan, begitu sempurnanya Kau cipta diriku. Aku bisa melihat dunia ini lengkap dengan cahaya dan warna-warnanya. Aku bisa berlari tanpa kesulitan. Aku bisa berjalan dengan mudah. Aku bisa membaca semua barisan huruf yang kutemui. Aku bisa mengagumi penampilanku melalui cermin. Aku bisa melakukan banyak hal dengan mudah karena lima indera yang kupunya berfungsi maksimal. Kedua tangan, kaki, otak, mampu bekerja sesuai fungsinya. Tapi aku selalu bertanya mengapa aku begini dan mengapa aku begitu, mengapa aku tidak mendapatkan ini, mengapa aku seperti ini. Aku tidak pernah mensyukuri apa yang aku punya.

Di dunia ini, tidak ada seorangpun yang ingin terlahir cacat, tidak sempurna. Tapi jika selalu berpikir negatif, maka segala hal disekelilingku akan terasa negatif. Maka aku tidak akan tersenyum tulus. Maka aku tidak akan ikhlas menjalani hari-hariku. Ya, seperti pasangan tuna netra itu. Kalau mereka hanya sibuk bertanya mengapa mereka tidak bisa melihat, tentu mereka tidak akan berani keluar rumah, tidak akan bisa ‘merasakan’ dunia.

Bukankah akan lebih baik jika aku memaksimalkan segala hal yang kupunya untuk mendukung energi positifku?Bukankah orang-orang akan lebih senang bekerjasama dengan orang berwajah ramah dan penuh senyum dibandingkan orang yang selalu ngedumel dan melihat segala hal dari sudut pandang negatif? Bukankah memupuk hal positif dalam diri kita berarti mereduksi hal yang negatif, sehingga kita akan lebih merasa bahagia?

Sumber energi. Ya, kupikir orang yang pintar bersyukur dan berpikir dan melakukan hal yang positif bisa menjadi sumber energi bagi segala hal di sekelilingnya. Kupikir, tidak usahlah berpikir apa upah atas segala hal baik yang telah kita lakukan. Sebab, semua yang ada pada diri kita, termasuk indra dan bagian tubuh, bisa saja diambil fungsinya oleh yang di Atas kapan saja Dia mau. Karena itu, selagi masih memiliki anugerah, tidak elok rasanya bila selalu mengeluh.

Di dunia ini ada banyak sekali pilihan dalam hidup. Aku ingin memilih untuk selalu belajar bersyukur atas semua nikmat yang Dia berikan. Aku yakin Dia akan selalu ada untukku. Dia selalu tahu semua waktu dan hal yang tepat untukku. Jika aku belum menjadi umat-Nya yang beribadah hanya untuk-Nya dengan sempurna, apakah aku berhak menuntut segala kesempurnaan? Menuntut segala hal berjalan seperti yang aku mau? Sehingga aku akan selalu menyalahkan-Nya setiap kali aku merasa mendapat ketidakadilan. Padahal kesempurnaan hanyalah milik-Nya.

Betapa sulitnya untuk selalu bersyukur. Sungguh sulit untuk benar-benar ikhlas dan tulus. Tetapi jika aku tidak pernah memulai untuk belajar, sampai kapanpun aku akan selalu menggugat Dia.

Halte Harmoni. Aku melangkah keluar dari Trans Jakarta. Aku menghampiri pasangan tuna netra yang sedang dibantu petugas berjalan ke arah pintu Trans Jakarta ke arah Pulogadung. “Terimakasih ya Pak, Bu,” ujarku sambil menggenggam tangan mereka.

“Terimakasih? Kenapa?” ujar mereka kebingungan.

“Saya belajar banyak dari Bapak dan Ibu. Mm.. hati-hati, selamat siang,” kataku sambil meninggalkan mereka. Aku berjalan tegak menuju jembatan penyeberangan. Sekarang aku akan mulai untuk tidak selalu bertanya mengapa tentang apa yang aku dapatkan dari-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar