#under_header{ margin:10px 0; padding:1%; width:98%; }

Benvenuto

Selamat datang bagi yang nyasar, tersesat, atau memang sengaja masuk ke Ruang Vita. Ruang ini memang berantakan, gelap, dan tidak mempesona, tapi semoga berkenan menyusurinya....

Senin, 27 Juli 2009

Rungkit, Tempat Ngeseks di Pemancingan yang Rawan AIDS

Nurvita Indarini-detiknews


Warung kitik-kitik alias rungkit berisiko menularkan virus HIV/AIDS. Sebab warung itu biasanya menjadi tempat untuk melakukan seks bebas.

Karena itulah rungkit yang biasanya berada di sekitar tempat-tempat pemancingan menjadi target ‘operasi’ Puskesmas Deli Serdang, Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Operasi yang dimaksud adalah memberi penyuluhan sekaligus screening HIV/AIDS.

Kitik-kitik berarti kecil. Ya, rungkit adalah warung kecil yang menjajakan aktifitas seks. Rungkit itu seperti bilik berukuran sekitar 1 X 1 meter.

Rungkit menjadi ‘hiburan’ para pemancing setelah penat memancing ikan. Bisa jadi, label pemancing ikan hanya sekadar topeng untuk sedikit menyembunyikan aktifitas tersebut. Meski memang, seks di rungkit sekitar pemancingan adalah rahasia umum.

Operasi itu dilakukan Puskesmas Deli Serdang sejak 2006. Awalnya, kegiatan itu dilakukan tanpa dana dari manapun. Biaya transportortasi benar-benar ditanggung petugas yang bersangkutan.

Kegiatan itu tentunya tidak gampang. Apalagi bagi dr Nurhayati Kamal. Bagaimana tidak, perempuan berkerudung itu harus keluar masuk rungkit dan kafe yang ditengarai digunakan sebagai tempat untuk ngeseks bebas.

“Dulu, awalnya mereka pada nggak mau ngobrol-ngobrol dengan saya kalau saya datang ke sana. Dipikirnya, saya ustad,” kenang perempuan yang akrab disapa Atik ini.

Hal itu disampaikan dia di Puskesmas Deli Serdang, Tanjung Morawa, Sumut, Sabtu (5/1/2008).

“Pertamanya waktu saya datangi, mereka banyak yang marah-marah. Tetapi lama-lama malah bisa curhat. Jadi kita tidak boleh memaksa mereka,” imbuh dia.

Begitu tahu Atik bukan ustad, para penjaja seks di rungkit dan kafe-kafe itu pun ‘menyerbu’ dia. “Dia bukan ustad, ayo sini-sini,” ujar alumnus Fakultas Kedokteran USU itu menirukan ucapan penjaja seks yang disambanginya.

Ibu 2 anak itu pun menjadi tempat curhat yang menyenangkan bagi penjaja seks itu. Bahkan bila tidak bisa bertemu, ada yang menyempatkan diri menelponnya.

“Ada yang malam-malam nelpon buat nanya apakah berbahaya (kena HIV/AIDS) kalau menelan sperma,” ujarnya sambil tersenyum.

Pada 2007, lanjut Atik, ada 45 orang yang ter-screening terkena virus HIV. 13 Orang dinyatakan positif HIV, dan 10 orang mengidap AIDS. Dari 10 orang itu, 8 di antaranya meninggal.

Fasih Prokem Waria



Penjaja seks di rungkit bukan hanya perempuan, namun juga waria. Dari 16 waria yang di-screening ada 2 orang yang positif HIV.

Untuk bisa masuk di kalangan waria, Atik pun harus belajar bahasa prokem kalangan tersebut. Kini dia pun mengerti, kata tembong berarti anal. Istilah prokem lainnya, dia pun fasih.

“Kalau waria itu mau ke rumah susah juga karena suami saya tidak mengizinkan. Karena pakaian mereka itu lho, kan nanti anak-anak saya bisa melihat,” tutur dia.

Menurut Atik, tidak semua orang yang dianjurkan melakukan tes HIV/AIDS mau melakukannya. “Kalau ada yang merasa pernah memakai jarum suntik narkoba dan temannya kena HIV/AIDS, belum tentu yang lain mau periksa. Sebab dia merasa itu ibarat arisan kematian, jadi kematiannya hanya menunggu kocokan namanya keluar.

Yang dilakukan Atik dan rekan-rekannya memang bukan pekerjaan gampang. Butuh ketekunan luar biasa dan mental baja. Meski hanya berbekal uang Rp 25 ribu per hari untuk ‘ngider’ menyebarluaskan informasi HIV/AIDS, hal itu bukan masalah besar. Toh sebelumnya mereka pernah berjalan dengan mengandalkan uang dari kantong sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar